Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbudakan di Libya: Kisah dari Dalam Penampungan

Kompas.com - 26/01/2018, 17:34 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

Sumber Al Jazeera

TRIPOLI, KOMPAS.com - Pada 21 November 2017, dunia dikejutkan dengan sebuah rekaman yang memperlihatkan sebuah pelelangan budak di Libya.

Dalam lelang tersebut, pengguna membeli para budak yang kebanyakan berasal dari Afrika dengan harga 400 dolar AS, atau sekitar Rp 5,4 juta.

Fakta tersebut membuat Perancis mendesak Dewan Keamanan PBB untuk menggelar sidang darurat, dan menjatuhkan sanksi kepada para pedagang manusia.

Merujuk kepada data Organisasi Internasional untuk Imigran, terdapat 700.000-satu juta imigran di Libya.

Al Jazeera dalam reportasenya Jumat (26/1/2018) berkesempatan mewawancarai dua orang budak asal Eritrea yang pernah dijual beberapa kali, dan hingga saat ini masih berada di Libya.

Baca juga : Terekam, Pelelangan Budak Afrika Seharga Rp 5,4 Juta Per Orang

Sami, 18 Tahun Asal Mayoma
Sami meninggalkan tanah kelahirannya pada usia 15 tahun. Dia diselundupkan ke Libya via Chad dengan membayar penyelundup tersebut 1.500 dolar AS, atau Rp 19,9 juta.

Namun, di perbatasan Libya, dia. Yang paling membuatnya pedih, dia ternyata dijual oleh penyelundupnya tersebut.

Aparat perbatasan Libya meminta uang pelicin 6.500 dolar AS, sekitar Rp 86,5 juta, jika ingin lolos.

Namun, karena tidak mempunyai uang, Sami harus pasrah disiksa oleh penjaga perbatasan. "Kami disiksa dengan tongkat dan selang air. Sering kami juga disetrum," papar Sami.

Sami kemudian dibawa menuju sebuah pusat hukuman ilegal di Bani Walid. Bersama imigran gelap lainnya, mereka hanya menerima sepotong roti per hari.

Baca juga : Pedagang Manusia di Libya Ungkap Jual Beli Budak Imigran

Selain itu, petugas di sana juga sering menyiksa imigran yang tidak sanggup membayar uang pelicin.

Bentuk penyiksaannya pun benar-benar kejam. Antara lain, imigran bakal digantung terbalik.

Dimulai dari menyetrum, mencelupkan kepala ke air, hingga menyiram imigran dengan minyak panas.

"Saya melihat teman saya tewas di hadapan saya setelah disetrum oleh aparat," ujar Sami.

Sami tinggal dalam fasilitas tersebut selama sembilan bulan hingga ibunya membayar sejumlah uang yang diminta aparat. Namun, nasib buruknya tidak berhenti sampai di situ.

Ketika dalam perjalanan menunju pantai dengan menumpang truk, Sami dan imigran lainnya dicegat oleh sekelompok orang bersenjata.

Lagi-lagi, sebagai jaminan kebebasannya, Sami harus membayar sejumlah uang kepada oknum itu.

Halaman:
Sumber Al Jazeera
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com