Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Kemiripan Afrika Selatan dan Asia Tenggara yang Menakutkan

Kompas.com - 18/01/2018, 17:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

 

PADA pertengahan 1990an, ketika saya masih bekerja sebagai pengacara korporat, beberapa kali saya betugas di Afrika Selatan.

Saat itu, sang “Bangsa Pelangi”, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Partai Kongres Nasional Afrika (ANC) yang juga ikon global, Nelson Mandela, sedang bangkit dari berdekade era apartheid.

Saat itu adalah masa-masa penuh harapan, namun diselingi kekhawatiran dan kegelisahan.
Benarkah ketidakadilan selama berabad-abad bisa diselesaikan?

Bisakah masyarakat yang sangat terpecah (sekitar 57 juta orang) antara masyarakat Afrika, kulit berwarna, India, dan kulit putih bisa disembuhkan? Untuk sesaat, upaya Mandela berhasil.

Setelah lebih dari dua puluh tujuh tahun di pengasingan, ia mampu menggunakan otoritas politik dan moralnya untuk menjaga kedamaian bangsa, dan mencegah sebuah konflik rasial yang membara.

Baca juga : Cape Town, Harapan dari Kota Metropolis Terkejam di Afrika...

Saya kembali ke Cape Town di hari pergantian tahun kemarin, untuk menikmati negara yang sangat rupawan ini. Gunung Meja yang terlihat langsung dari jendela hotel saya, perkebunan anggur Stellenbosch, dan deburan ombak Samudera Atlantik dan Hindia yang terdengar berderu-deru.

Sayangnya, Afrika Selatan yang sekarang sedang tersendat. Tingkat pengangguran mencapai 27 persen, dan Bank Dunia memprediksikan pertumbuhan ekonomi hanya akan mencapai 1,1 persen di 2018.

Perkampungan padat beratapkan besi di Khayelitsha dan Soweya yang awalnya dirasa akan menjadi peninggalan masa lalu, justru kian menjamur--sebuah testimoni akan masa depan yang kelam bagi komunitas 80,2 persen Afrika ini.

Area kumuh di kawasan Khayelitsha, Afrika Selatan. Thinkstockphotos.com Area kumuh di kawasan Khayelitsha, Afrika Selatan.
Ironisnya, perusahaan-perusahaan Afrika Selatan–sebagian karena permasalahan ini–telah menjadi pemain paling dinamis di benua. Keluarga Rupert, penguasa lokal industri tembakau, dengan perusahaan Richemont telah menjadi pemain komoditas mewah global.

Mereka juga memiliki beberapa merek seperti, Cartier dan Montblanc.

Namun, mungkin yang paling mengejutkan di antaranya adalah Naspers, media Afrikaans pro-apartheid berbasis di Cape Town yang dulu sangat dibenci.

Mereka telah merancah ke dunia internet jauh sebelum rekan-rekan globalnya, dengan mengakuisisi 46,5 persen saham sebuah grup online dari Tiongkok, Tencent, yang saat itu belum terkenal pada 2001.

Saat ini, Naspers memiliki valuasi 85 miliar dollar AS, yang menjadi perusahaan paling berharga di benua Afrika. Semua ini berjalan di bawah dominasi politik ANC. Di era Mandela dulu (dan juga penerusnya Thabo Mbeki), pemerintah selalu mengedepankan kompetensi.

Namun, gaya Presiden Jacob Zuma yang sulit diprediksi dan tidak berprinsip membuat institusi negara telah tererosi dari dalam. Pastinya, istilah “state capture” telah menjadi sinonim dengan ANC.

Pertama kali dicanangkan oleh Bank Dunia, istilah tersebut seakan-akan menjadi buah bibir seluruh orang di Afrika Selatan–dan perlahan menjadi makin relevan di belahan dunia lainnya. Pada dasarnya, konsep tersebut mengindikasikan sebuah bentuk korupsi sistemik–yang memungkinkan kepentingan swasta/pribadi untuk mendikte kegiatan negara.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com