Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

The New York Times: 10 Tahun Lagi Jakarta Tenggelam Jika...

Kompas.com - 23/12/2017, 16:25 WIB
Veronika Yasinta

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Terjangan "tsunami" buatan manusia di ibu kota Indonesia, Jakarta, menjadi ancaman terdekat bagi keselamatan kota itu.

The New York Times pada Kamis (21/12/2017) membeberkan bagaimana kota yang menjadi serbuan kaum urban itu menghadapi ancaman tenggelam oleh perubahan iklim.

Dengan perubahan iklim, level Laut Jawa meningkat dan cuaca di Jakarta menjadi lebih ekstrem. Awal bulan ini, badai yang tidak normal secara singkat mengubah jalanan kota yang berpenduduk lebih dari 30 juta orang ini menjadi sungai.

Salah satu pengamat cuaca, Irvan Pulungan, yang juga penasihat gubernur, mengkhawatirkan temperatur bisa naik beberapa derajat Celcius, dan level laut meningkat sekitar 91,4 cm di abad selanjutnya.

Baca juga : Jokowi Minta Basuki dan Pemprov DKI Bereskan Banjir Jakarta

Pemanasan global tidak hanya menjadi penyebab satu-satunya dalam sejarah panjang banjirnya Jakarta. Masalahnya, kota metropolitan itu memang sedang tenggelam.

Jakarta tenggelam lebih cepat dibandingkan kota besar lainnya di dunia, sangat cepat, bahkan perubahan iklim yang menyebabkan laut naik, sehingga sungai terkadang mengalir ke hulu, hujan menyapu permukiman, dan bangunan perlahan lenyap seperti ditelan bumi.

Penyebab utamanya, penduduk Jakarta menggali sumur-sumur ilegal sehingga tetes demi tetes mengaliri lapisan bawah tanah, tempat di mana kota itu berdiri, seperti layaknya menggemboskan bantalan di bawahnya.

Sekitar 40 persen wilayah di Jakarta sekarang berada di bawah permukaan laut. Daerah pesisir seperti Muara Baru, juga telah tenggelam sekitar 4,26 meter dalam beberapa tahun terakhir.

Baca juga : Cari Solusi Banjir Jakarta, Gubernur Anies Akan Panggil Pakar

Pakar hidrologi menyatakan kota ini hanya memiliki satu dekade atau 10 tahun untuk menghentikan karamnya. Jika tidak, bagian utara Jakarta dengan jutaan penduduk akan berada di bawah air.

"Hidup di sini, kami tidak memiliki tempat lain untuk dikunjungi," kata Yudi dan Titi, penduduk Jakarta yang setiap Minggu pergi ke pusat kota dari Jakarta Barat untuk menghabiskan beberapa menit berjalan kaki.

Razia PT Aetra Air Jakarta di wilayah Muara Bahari, Jakarta Utara, Kamis (19/3/2015).Kompas.com/Kahfi Dirga Cahya Razia PT Aetra Air Jakarta di wilayah Muara Bahari, Jakarta Utara, Kamis (19/3/2015).

Sumur ilegal

Pengembang di Jakarta dan penduduk secara ilegal menggali sumur yang tak terhitung jumlahnya karena air pipa yang mengalirkan air ke lebih dari setengah penduduk Jakarta, harganya terlalu tinggi.

Lapisan kulit bumi berpori yang dapat menahan air (akuifer) tidak dibenahi, meski hujan lebat dan luapan air sungai terus menimpa kawasan itu, karena lebih dari 97 persen wilayah Jakarta sudah tertutupi lapisan beton dan aspal.

Memang selalu ada ketegangan antara kebutuhan mendesak dengan rencana jangka panjang. Masalah Jakarta sama seperti kisah kota besar yang terancam tenggelam lainnya, Mexico City, Meksiko.

Kedua kota itu menghadapi masalah akuifer yang kering menyebabkan bebatuan dan sedimen membuat Jakarta bak sebuah kue dadar.

Baca juga : Kendalikan Banjir Jakarta, Dua Bendungan Dibangun

Untuk mencegah karamnya, Jakarta harus menghentikan penggalian sumur, yang berarti pemerintah mesti menyediakan pasokan air bersih bagi penduduk, membersihkan saluran air, dan membenahi saluran pembuangan.

Aksi lainnya yang perlu dilakukan seperti pembersihan kanal dan sungai yang tercemar pabrik dengan bahan-bahan kimia.

Janjaap Brinkman, ahli hidrologi yang telah mempelajari Jakarta selama puluhan tahun untuk lembaga riset di bidang air dan bawah permukaan air yang berpusat di Delft dan Ultrecht, Belanda, mengatakan proyek ambisius Giant Sea Wall atau tanggul raksasa dibangun tinggi untuk menahan naiknya air laut.

Namun dengan tingkat penurunan tanah seperti saat ini, tanggul raksasa bisa berada di bawah laut pada 2030.

Baca juga : Bambang Brodjonegoro: Kajian Giant Sea Wall Rampung Oktober Tahun Ini

"Jika tanggul ini rusak, tidak ada yang menahan Laut Jawa," katanya.

Pengamat cuaca setempat, Ardhasena Sopalheluwakan, berpendapat pembangunan tanggul raksasa tidak diperlukan, melainkan membawa Jakarta Utara ke alam dengan membangun hutan mangrove dan peremajaan waduk, termasuk beberapa yang dibangun pada Jakarta tempo dulu.

Banjir di kawasan bundaran air mancur di samping Patung Arjuna Wiwaha, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (9/2/2015). Curah hujan yang tinggi mengakibatkan sejumlah tempat di ibu kota terendam banjir. KOMPAS / LASTI KURNIAKOMPAS / LASTI KURNIA Banjir di kawasan bundaran air mancur di samping Patung Arjuna Wiwaha, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (9/2/2015). Curah hujan yang tinggi mengakibatkan sejumlah tempat di ibu kota terendam banjir. KOMPAS / LASTI KURNIA

Tokyo abad 20

Ibu kota Jepang, Tokyo, menghadapi keadaan sulit yang sama setelah Perang Dunia II. Kota itu telah tenggelam sedalam 3,65 meter sejak 1990.

Namun, pemerintah kota mencurahkan sumber dayanya untuk membangun infrastruktur baru dan membuat aturan lebih ketat terkait pengembangan, dan dalam satu atau dua dekade berubah menjadi kota inovasi global.

"Jakarta bisa menjadi kota di abad 21 seperti Tokyo di abad 20, sebagai contoh untuk pengembangan kembali kota urban," ujar Irvan Pulungan, penasihat gubernur.

"Tapi kota yang tidak bisa memberikan layanan dasar adalah kota yang gagal," tambahnya.

Seperti Tokyo setengah abad lalu, Jakarta berada di titik balik.

"Alam tidak akan menunggu lama," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com