Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konflik Israel-Palestina (10): Dari Camp David ke Perjanjian Oslo

Kompas.com - 11/12/2017, 11:30 WIB
Ervan Hardoko

Penulis

KOMPAS.com — Banyak peristiwa terjadi pasca-Perang Enam Hari yang mengubah nasib bangsa Palestina. Berbagai konflik bersenjata terus mewarnai "hubungan" Palestina dan Israel.

Namun, perlu juga dicatat bahwa berbagai upaya untuk mendamaikan kedua bangsa ini juga terus diupayakan meski kerap berakhir dengan kegagalan.

Salah satu proses perdamaian yang cukup signifikan adalah perjanjian Camp David pada 17 September 1978.

Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin menandatangani perjanjian damai yang digelar di rumah peristirahatan Presiden AS, Camp David.

Baca juga : Trump-Netanyahu Bahas Ancaman Iran dan Perdamaian Israel-Palestina

Berdasarkan perjanjian Camp David inilah akhirnya pada Maret 1979, Mesir dan Israel menandatangani pakta perdamaian.

Berdasarkan perjanjian damai ini, Israel mengembalikan Semenanjung Sinai yang direbut dalam Perang Enam Hari 1967 kepada Mesir.

Selain itu, perjanjian damai ini juga membahas pembentukan pemerintahan otonomi di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Namun, upaya pembicaraan masa depan Palestina ini gagal. Sebab, Palestina tidak menerima proposal otonomi terbatas untuk Tepi Barat dan Jalur Gaza seperti diajukan Israel.

Sementara itu, Israel juga menolak melakukan negosiasi dengan PLO, meski organisasi itu sudah diakui PBB sebagai entitas perwakilan bangsa Palestina.

Kebuntuan ini berujung dengan berbagai kekerasan, misalnya Perang Lebanon 1982 dan pembantaian di kamp pengungsi Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982.

Baca juga : Trump Sambut Abbas di Gedung Putih, Ada Harapan Damai Israel-Palestina

Pada 1987, pecahlah apa yang disebut dengan Intifada Pertama yaitu perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur.

Intifada pertama ini berlangsung hingga 1993, saat perjanjian Oslo ditandatangani.

PM Israel Yitzak Rabin berjabat tangan dengan pemimpin PLO Yasser Arafat disaksikan Presiden AS Bill Clinton usai penandatanganan Perjanjian Oslo di Washington DC pada 13 September 1993.White House/Wikipedia PM Israel Yitzak Rabin berjabat tangan dengan pemimpin PLO Yasser Arafat disaksikan Presiden AS Bill Clinton usai penandatanganan Perjanjian Oslo di Washington DC pada 13 September 1993.
Perjanjian Oslo

Pada awal 1990-an, PLO mengubah taktik perjuangannya. PLO mulai meninggalkan cara-cara keras menggunakan senjata dan mulai mencoba cara-cara diplomasi.

Pada awal 1993, para perunding Israel dan PLO melakukan serangkaian pembicaraan rahasia di Oslo, Norwegia.

Pada 9 September 1993, Pemimpin PLO Yasser Arafat mengirim surat kepada PM Israel Yitzhak Rabin.

Isi surat itu adalah PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata.

Baca juga : Asa Damai Israel-Palestina dari Pertemuan Abbas dan Trump

Pada 13 September 1993, Arafat dan Rabin menandatangani perjanjian di Washington DC yang kemudian menjadi dasar negosiasi yang berlangsung di Oslo, Norwegia. Setelah melalui jalan panjang, proses perdamaian Oslo dimulai.

Selama proses perdamaian Oslo, kedua pihak diwajibkan merundingkan solusi dua negara.

Namun, pembicaraan menuju solusi dua negara gagal dan PLO-Israel mencoba mencari kesepakatan yang saling menguntungkan. Proses pembicaraan ini akhirnya selesai pada 20 Agustus 1993.

Meskipun namanya adalah perjanjian Oslo, tetapi kesepakatan antara PLO dan Israel ini ditandatangani Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin di Washington DC dengan disaksikan Presiden AS Bill Clinton.

Saat itulah terjadi jabat tangan bersejarah Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin.

Salah satu bagian penting Perjanjian Oslo ini adalah terbentuknya pemerintahan Otorita Palestina yang membawahi Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Di bawah perjanjian ini Palestina mulai mendapat wewenang memerintah di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Palestina bahkan sudah bisa membentuk perangkat pemerintahan, kepolisian, parlemen, dan institusi pemerintahan lain.

Balasannya, Otorita Palestina harus mempromosikan toleransi terhadap Israel dan mengakui hak Israel untuk tetap eksis.

Pada 28 September 1995, Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat menandatangani Kesepakatan Interim Israel-Palestina.

Baca juga : Trump dan Abbas Ingin Teguhkan Komitmen soal Israel-Palestina

Di bawah kesepakatan ini, para pemimpin PLO bisa kembali ke daerah pendudukan dan memberikan otonomi kepada bangsa Palestina.

Imbalannya tetap sama, yaitu mengakui keberadaan Israel dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam perjuangan.

Namun, kesepakatan ini ditentang Hamas dan sejumlah faksi radikal Palestina yang siap melakukan perjuangan bersenjata demi membebaskan Palestina.

Keputusan pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, diyakini bakal memicu langkah mundur dari semua upaya perdamaian yang sudah dilakukan selama ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com