Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pedagang Manusia di Libya Ungkap Jual Beli Budak Imigran

Kompas.com - 30/11/2017, 11:02 WIB
Veronika Yasinta

Penulis

Sumber Al Jazeera


TRIPOLI, KOMPAS.com - Ratusan imigran asal Afrika yang mengungsi di Libya telah diperjualbelikan di pasar budak setiap minggunya.

Dalam pengakuannya ke Al Jazeera, seorang pedagang manusia dengan nama samaran, Salman,  mengatakan kebanyakan imigran terpaksa terjun ke dalam prostitusi dan dieksploitasi secara seksual.

Para imigran juga membutuhkan uang untuk menyelendupkan mereka ke wilayah suaka. Namun, kebanyakan dari mereka berakhir dengan dibunuh oleh penyelundup di gurun atau mati karena kehausan dan kecelakaan mobil saat dibawa ke gurun Libya.

Salman, menjelaskan bisnisnya makin meningkat beberapa kali lipat setelah pimpinan Libya yang berkuasa lama, Muammar Khadafi, digulingkan.

Baca juga : Perancis Desak PBB Beri Sanksi ke Pedagang Budak di Libya

Awalnya, pengungsi akan diperkenalkan ke pada pedagang manusia melalui kantor buruh swasta di kota Agadez dan Zinder, di dekat Niger.

Salman mengatakan, ketika dia menerima sinyal pengiriman pengungsi dari seorang komandan di Niger, dia mulai menyiapkan proses transportasinya.

Dia menerima upah sekitar 1.000 dinar Libya atau Rp 9,9 juta hingga 1.500 dinar Libya atau Rp 14,9 juta per orang.

Ketika dia mendapatkan bayarannya, kemudian para imigran dimasukkan ke dalam kendaraan berukuran 4x4 meter dan dibawa melewati gurun pasir Libya yang suhunya mencapai 50 derajat Celsius pada musim panas.

Baca juga : Dalam 1 Hari, Pemerintah Italia Selamatkan 1.100 Imigran Asal Libya

"Aku menjemput imigran dari Al Qatron (di Libya) dan mengantar mereka ke Sabha," katanya.

"Ini merupakan kesepakatan antara komandan di Niger dan negara lainnya di Afrika," tambahnya.

Al Qatrin merupakan sebuah kota kecil sekitar 300 km dari Sabha dan dekat dengan perbatasan Niger. Kota itu menjadi titik awal ribuan imigran memasuki Libya setiap tahunnya.

Ketika sampai ke Sabha, sekitar 650 km dari Tripoli, seorang komandan membawahi para imigram dengan memberikan mereka makanan, tempat tinggal sementara, dan perlindungan, sebelum mereka dijual sebagai budak ke lingkaran penyelundup atau komandan lainnya di berbagai kota di Libya.

Imigran dipaksa tinggal di ruang kosong yang rusak tanpa sanitasi yang memadai.

Imigran yang meninggal tidak pernah diidentifikasi, mereka dikubur tanpa nama dan nisan. (Al Jazeera) Imigran yang meninggal tidak pernah diidentifikasi, mereka dikubur tanpa nama dan nisan. (Al Jazeera)

Badan kesehatan Libya menyebut kamar mayat di selatan kota Sabha mengalami kelebihan jenazah, dan dengan pendingin yang rusak membuat situasi makin memburuk.

Pemerintah kota Sabha menyebut, mayat-mayat imigran biasanya dibuang di pepohonan, sekitar lima tau lebih mayat juga dapat ditemukan di pagar klinik kesehatan Sabha.

Pengungsi yang meninggal tidak pernah bisa diindentidikasi, sehingga kebanyakan berakhir dengan dimakamkan tanpa nama dan nisan.

Sementara, kamar mayat di Shaba memiliki satu alat pendingin yang hanya mampu menahan jenazah selama tiga hari, namun nampaknya sudah berbulan-bulan jenazah ditampung di pendingin.

Baca juga : Temuan 36 Jasad Penuh Luka, Panglima Tertinggi Libya Diselidiki

Mayat yang tersimpan di alat pendingin terlalu lama biasanya membusuk dan menyebabkan bau amis.

"Kami telah meminta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membantu kami dengan memberikan alat pendingin baru. Tapi kami belum mendapatkan respons yang positif dari mereka," kata pejabat pemerintah kota Sabha.

Pintu gerbang menuju Eropa

Pengungsi dan imigran di Libya biasanya berasal dari Ghana, Nigeria, Cameroon, Zambia, Senegal, Gambia dan Sudan.

Mereka diselundupkan ke Libya oleh jaringan kelompok kriminal karena dijanjikan dapat pergi ke Eropa.

Libya telah menjadi pintu gerbang menuju ke Eropa melalui jalur laut, dengan lebih dari 150.000 orang bertaruh nyawa menyeberangi laut, selama tiga tahun terakhir.

Baca juga : Pesawat Udara Serang Kota Derna di Libya, Belasan Warga Sipil Tewas

Organisasi Migrasi Internasional (IOM) telah melakukan wawancara dengan imigran dari negara-negara di Afrika Barat yang menceritakan pengalaman mereka diperjualbelikan di garasi dan parkiran di kota Shaba.

Salah satu imigran asal Senegal menyebutkan, dia ditahan di sebuah rumah pribadi di Shaba bersama 100 ornag lainnya. Mereka dipukul dan dipaksa untuk menghubungi keluarga mereka agar menyiapkan uang tebusan guna membebaskan mereka.

Beberapa yang tidak dapat membayar penyelundupnya juga dilaporkan dibunuh dan dibiarkan hingga mati kelaparan. Ketika imigran mati atau sudah dibebaskan, akan masuk imigran lainnya menggantikan tempat mereka.
 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Al Jazeera
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com