Facebook mengumpulkan informasi terkait setiap posting yang Anda suka, Google mencatat setiap pencarian yang Anda lakukan, dan Instagram merekam setiap foto yang Anda upload.
Kita yang meninggalkan kehidupan privasi kita dan membiarkan orang-orang mengetahui hal-hal kecil dalam hidup kita, yang terkadang tidak hanya untuk teman ataupun keluarga dekat.
Bahkan, data yang begitu banyak ini telah dibuat senyaman mungkin untuk dicari seperti yang telah dilakukan Apple dengan Siri, namun berapa biayanya?
Baru-baru ini, terungkap bahwa ada kebocoran informasi besar dari 46 juta pengguna ponsel di Malaysia, yang telah membuka informasi-informasi pribadi, seperti alamat rumah, nomor kartu identitas dan bahkan catatan medis.
Beberapa orang memiliki nomor ponsel tidak dikenal dan mendaftarnya atas nama mereka. Kejadian tersebut seolah mengungkapkan sisi gelap bahwa semakin banyak data informasi maka semakin tinggi juga risikonya.
Pada saat bersamaan, kita harus lebih berhati-hati dalam memuja data-data. Beberapa tahun terakhir, berbagai lembaga survei telah membawa gelombang antusiasme “Big Data”, yang dapat menaikkan status seorang bintang rock ketika ikut dalam persaingan politik—dan seperti mendapatkan tamparan keras ketika prediksinya salah.
Banyak survei yang gagal melihat dominasi Trump, Brexit, dan lahirnya gerakan etno-nasionalis di seluruh Eropa.
Cathy O'Neil, seorang ahli matematika dari Harvard, dalam bukunya Weapons of Math Destruction, telah memperingatkan bahayanya “terlalu percaya” pada suatu data besar. Dia berpendapat bahwa "objektivitas" merupakan sebuah "trik pemasaran", yang menunjukkan bahwa algoritma yang kabur dan penuh asumsi yang salah, sebenarnya malah memperkuat sifat prasangka seorang manusia.
Terkadang, berpegang teguh pada sebuah data yang kita tahu malah dapat menjebak kita dalam sejarah. Lagi pula, tidak ada data untuk sebuah gagasan yang baru dan belum teruji.
Ini semua menunjukkan data bukanlah sebuah takdir.
Baca juga : Batalkan Pembicaraan Damai, Duterte Siap Perang Lawan Pemberontak?
Tetapi seharusnya kita tidak sepenuhnya buta ketika sedang mengikuti insting kita. Sebaliknya, pengetahuan manusia harus ditambah dengan sebuah informasi untuk melangkah ke depan.
Kita perlu menjadi seseorang yang memanfaatkan data sebagai bahan membuat keputusan, Tapi bukan sebagai orang yang dikendalikan data. Ini adalah dua hal yang berbeda.
Pada September lalu, sebuah survei dari lembaga penelitian Social Weather Stations (SWS) merilis turunnya peringkat kepercayaan Presiden Filipina Rodrigo Duterte sebesar 15 poin.
Kelompok oposisi dan media setempat dengan cepat mengambil kesempatan ini dengan menggembar-gemborkan isu akhir dari "bulan madu" sang pemimpin kontroversial tersebut.
Saya sempat terbang ke Filipina dan berbincang-bincang dengan beberapa pendukung Duterte untuk melihat apa sebenarnya penyebab penurunan kepercayaan itu.