Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fadlan Muzakki
Ketua Komisi PPI Dunia

Research Associate di Akar Rumput Strategic Consulting, Founder dari
Center for Asia Pacific Studies Indonesia, Fellowship Graduate di
Zhejiang University, Tiongkok dan juga Ketua Komisi di PPI Dunia.

Melirik Kemesraan Trump-Xi Jinping dan Implikasinya bagi Indonesia

Kompas.com - 23/11/2017, 06:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorLaksono Hari Wiwoho

Namun, secara kontradiktif AS dan China tampaknya masih akan tetap berseteru pada isu lain. Muscle flexing policy yang diterapkan, baik oleh China maupun oleh AS dan sekutunya di kawasan LCS, sesungguhnya menjadi pertanyaan apakah benar China dan AS akan benar-benar dapat beraliansi secara konsisten.

Harmonisasi hubungan kedua negara memang dapat terlihat dari kerja sama bisnis dan perdagangan. Namun, kondisi hubungan politik nampaknya masih dinamis dan cenderung berseberangan, khususnya dalam isu LCS.

Muscle flexing policy adalah istilah untuk menggambarkan sebuah kebijakan yang bersifat militeristik untuk menunjukkan kekuatan absolutnya. Kebijakan tersebut digunakan untuk membuat negara lain gentar.

Sebagai contoh, negara menunjukkan kekuatan militer atau mengadakan latihan militer di daerah konflik atau sengketa untuk memberi sinyal kesiapan berkonfrontasi.

Sejak 2015, kapal perang AS sempat beberapa kali terlihat melintas dekat beberapa pulau yang diklaim oleh China di kawasan LCS.

Di samping itu, diketahui juga bahwa China membangun fasilitas militer dan membangun pulau-pulau buatan di kawasan sengketa tersebut.

Kedua negara terlihat unjuk gigi dalam pamer kekuatan militer di kawasan LCS. Hal ini menandakan bahwa rivalitas politik mengikuti pola keamanan tradisional tentu saja akan berpotensi terus terjadi antara China dan AS.

Pertanyaannya, apakah di masa yang akan datang kontestasi praktik muscle flexing policy di LCS dapat berubah menjadi sebuah kolaborasi manis sebagaimana kerja sama di sektor bisnis antara dua negara adidaya ini?

Atau sebaliknya, apakah kolaborasi bisnis ini yang justru hanya bersifat sementara karena gagal merukunkan kedua negara untuk menjadi kekuatan aliansi kolaboratif baru dalam politk dunia akibat keras dan panasnya sengketa LCS?

Kontestasi tersebut mungkin saja hanya berubah menjadi kolaborasi taktis khususnya dalam menghadapi agresivitas Korea Utara yang memang dapat mengganggu kepentingan nasional kedua negara adidaya tersebut di kawasan sensitif Asia Timur.

Implikasi bagi Indonesia

Implikasi yang signifikan dapat dirasakan Indonesia jika dapat memanfaatkan kesempatan kemesraan AS-China di sektor bisnis ini sebaik-baiknya dan mengambil momentum kedekatan kedua negara tersebut untuk memajukan kepentingan nasional kita.

Sebagai negara berkategori middle power country, Indonesia dapat memanfaatkan kemesraan AS dan China untuk menjadi penengah dalam isu LCS serta menjadi pemain utama yang harus didengar oleh kedua negara adidaya.

Indonesia juga dapat memainkan peranan konsepsi presepsi (constructivism) dalam politik internasional. Robert Jervis menyampaikan bahwa persepsi dan mispersepsi dalam politik internasional sangat memengaruhi kebijakan luar negeri sebuah negara.

Dengan demikian, segala bentuk kerja sama yang dilakukan Indonesia terhadap China maupun AS tidak lagi dipandang sebagai usaha untuk menanamkan atau memperebutkan pengaruh hegemoni di kawasan Asia Tenggara. Namun, hal itu dilakukan untuk mencapai pembangunan ekonomi yang inklusif di kawasan emas tersebut.

Masyarakat Indonesia juga harus cermat dan rasional melihat isu China ini. Di saat isu-isu keamanan tradisional seperti ideologi, politik, dan kedaulatan sedang ramai digoreng di media sosial, justru negara-negara seperti Amerika Serikat, bahkan Arab Saudi, saja merapat ke China untuk mengambil manfaat dan keuntungan dari kebangkitan ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut.

Masyarakat juga harus bisa melihat peluang-peluang dari China yang dapat menguntungkan dan membawa manfaat bagi Indonesia. Untuk itu, kecurigaan dan ketakutan perlu ditinggalkan dan diganti oleh sikap rasional, cerdas, meski kehati-hatian tetap harus terus dilakukan.

Itu seperti halnya Presiden Trump yang mulai menjalin "kemesraan" dengan China, walaupun AS masih tetap mengamati isu di LCS yang belum menemui titik temu. Kesempatan justru muncul di kala krisis. Begitu, bukan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com