Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata "Pribumi" dari Anies Baswedan Juga Dibahas di Luar Negeri

Kompas.com - 20/10/2017, 06:29 WIB

MELBOURNE, KOMPAS.com - Pidato kontroversial Gubernur baru DKI Jakarta baru, Anies Baswedan yang mengunakan kata "pribumi" menarik perhatian hingga ke luar negeri.

Pilihan kata itu menjadi bahasan dalam kuliah Herb Feith di Monash University, Rabu malam (18/10/2017).

Pembicara dalam kuliah tersebut adalah Associate Professor Charles Coppel dari Melbourne University, yang membawakan tema "Warga China atau Tionghoa di Indonesia".

Profesor Coppel sempat menyinggung soal pidato Anies, karena sebelumnya ia juga membahas Ahok sebagai bagian dari cerita mengenai warga Tionghoa Indonesia.

"Menurut saya, kata 'pribumi' yang digunakan Anies Baswedan aneh dalam tiga hal," ujar Profesor Coppel.

Copel dalam kuliah ini diperkenalkan sebagai "Bapak Jurusan Indonesia di Australia".

"Pertama dalam soal penjajahan, kolonial. Jadi sekarang ini Indonesia dijajah oleh siapa?" kata dia.

Baca: Ditanya tentang Inpres yang Larang Penggunaan Kata Pribumi, Anies Bilang Cukup Ya

"Kedua, adalah kata pribumi. Sementara Anies sendiri bukanlah pribumi, karena dia peranakan Arab."

"Dan ketiga pernyataan itu tidak memperhatikan jasa kelompok seperti Tionghoa Muslim di Indonesia." lanjut Coppel.

Sebelumnya, Coppel memaparkan, Gubernur Jakarta sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, sebagai bagian dari penjelasannya mengenai kehidupan warga Tionghoa Indonesia.

Pernyataan itu muncul dalam kuliah yang diberi judul "Normalising Chinese Indonesians", atau "Menormalkan Tionghoa Indonesia".

Coppel mencoba menjawab pertanyaan apakah Tionghoa Indonesia sudah merupakan bagian normal dari Indonesia sekarang ini.

Di akhir kuliahnya, Coppel memberikan jawaban bahwa sampai sekarang jawabannya adalah belum.

Menurut dia, munculnya Ahok yang awalnya sebagai Wakil Gubernur Jakarta, kemudian menjadi Gubernur menggantikan Joko Widodo, adalah perkembangan yang luar biasa.

Juga dengan kemungkinan Ahok akan terpilih lagi dalam pemilihan Gubernur, namun berakhir dengan terpilihnya Anies Baswedan sebagai gubernur.

Namun, Ahok harus menjalani hukuman penjara karena kasus penistaan agama. Hal ini menurut Coppel menjungkirbalikkan perkiraan sebelumnya.

"Apakah kekalahan Ahok disebabkan karena faktor etnis sebagai warga Tionghoa Indonesia?" tanya Coppel.

"Ahok kalah bukan karena etnisnya, namun ada hubungannya dengan masalah agama." kata Coppel.

Ia menjelaskan, dari beberapa survei yang dilakukan sebelum pilkada, walau warga puas dengan kepemimpinan Ahok, namun mereka tidak akan memilihnya lagi sebagai gubernur karena agama yang tidak sama.

Salah anggapan soal penduduk Tionghoa Indonesia

Coppel membeberkan beberapa hal yang selama ini dianggap sebagai sebuah 'kebenaran' soal warga Tionghoa Indonesia, meski dalam kenyataannya sangatlah berbeda.

Hal pertama adalah dalam jumlah.

"Sensus di tahun 2000 dan 2010 mengatakan bahwa jumlah penduduk Tionghoa Indonesia sekitar dua koma sekian persen."

"Padahal dalam perkiraan banyak orang jumlahnya jauh di atas angka tersebut," kata dia.

Menurut dia, banyak orang masih tidak percaya ketika angka tersebut muncul di tahun 2000, karena sensus dilakukan tidak lama setelah Peristiwa Kerusuhan di tahun 1998.

Sehingga, diperkirakan banyak warga Tionghoa Indonesia tidak mau mengungkapkan etnisitas mereka, karena masih mengalami trauma kerusuhan.

"Namun di sensus 2010, di mana hal-hal berkenaan dengan Tionghoa Indonesia sudah jauh lebih terbuka, antara lain dengan diakuinya Konghucu sebagai agama, diperbolehkannya perayaan Tahun Baru Imlek, dan tarian Barongsai, angkanya tetap sama."

Ketika warga diminta menentukan etnisnya, hanya ada satu pilihan yang tersedia. Sehingga, kemungkinan mereka akan memilih 'etnis yang lain', bila di keluarga mereka terdapat perkawinan campur.

Di masa depan, Coppel mengatakan, bila sensus menyediakan beberapa pilihan etnis, maka diperkirakan situasinya akan berbeda.

Dalam soal agama yang dipeluk oleh warga Tionghoa Indonesia, Coppel menggunakan data sensus juga menunjukkan warga Tionghoa memeluk berbagai agama yang berbeda.

"Ada sekitar lima persen yang beragama Islam, 50 persen menyatakan sebagai pemeluk Buddha, 27 persen Protestan, dan 15 persen Katolik, dan tiga persen penganut Konghucu."

Coppel juga mengatakan bahwa warga Tionghoa Indonesia lebih memiliki perasaan nasionalistis dan lebih merasa Indonesia dibandingkan etnis lain.

"Lebih 60 persen dari mereka mengaku menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari di rumah, sementara yang lainnya di bawah 20 persen."

"Hanya 24 persen di antara warga Tionghoa mengatakan menggunakan bahasa sendiri di rumah, angka ini lebih kecil dibandingkan etnis lainya." tambahnya.

Kuliah Herb Feith diselenggarakan secara teratur oleh Monash University untuk mengedepankan tema-tema mengenai Indonesia.

Dalam kuliah ini bertindak sebagai pemandu adalah Ariel Heryanto, yang sekarang juga menjadi bagian dari Monash University.

Yayasan Herb Feith didirikan di tahun 2003 dengan tujuan mempromosikan dan mendukung apa yang pernah dilakukan Professor Herb Feith semasa hidupnya.

Feith mempromosikan pengajaran mengenai Indonesia. Ia juga banyak bergerak dalam aktivitas pendidikan internasional di bidang studi perdamaian, HAM, dan resolusi konflik.

Bekerjasama dengan Monash University, Yayasan ini secara teratur menyelenggarakan Kuliah Herb Feith.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com