Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siapakah Tentara Pembebasan Rohingya Arakan?

Kompas.com - 06/09/2017, 18:15 WIB

KOMPAS.com - Lebih dari 140.000 warga Rohingya meninggalkan rumahnya sejak 25 Agustus 2017, pasca-serangan ke 20 pos tentara oleh Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA).

Serangan kedua itu jauh lebih heboh dan menggemparkan dunia dibandingkan serangan serupa ke hanya menarget sebuah pos keamanan perbatasan sehingga menewaskan 9 polisi pada Oktober 2016.

Ratusan ribu warga kini berusaha melarikan diri dari kekerasan, menyusul serangan balik militer Myanmar yang menyasar kelompok milisi Rohingya yang menyerang pos polisi.

Baca: Gerilyawan Rohingya Serang Pos Polisi Myanmar, 32 Orang Tewas

Kelompok militan bernama ARSA mengaku bertindak mewakili warga Rohingya,  namun siapakah  sebenarnya mereka itu?

Siapakah ARSA?

Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army, ARSA) beroperasi di Negara Bagian Rakhine di Myanmar utara, tempat mayoritas-Muslim Rohingya menghadapi persekusi.

Pemerintah Myanmar menolak memberikan mereka kewarganegaraan dan memandang mereka sebagai imigran ilegal dari Bangladesh.

Bentrokan terjadi secara berkala di antara kelompok-kelompok etnik, namun tahun lalu sebuah kelompok pemberontak bersenjata Rohingya berkembang.

ARSA, yang sebelumnya dikenal dengan nama lain termasuk Harakah al-Yaqin, telah membunuh lebih dari 20 petugas polisi dan anggota pasukan keamanan.

Pada 25 Agustus, kelompok itu menyerang pos-pos polisi di Negara Bagian Rakhine, membunuh 12 orang dalam serangan terbesar mereka hingga saat ini. Hasilnya, memicu serangan balik dari militer.

Pemerintah menyebut kelompok ini sebagai organisasi teroris dan mengatakan pemimpin-pemimpinnya telah dilatih di luar negeri.

Baca: Eropa Desak PBB Selidiki Dugaan Penyiksaan Warga Rohingya

Kelompok Krisis Internasional atau International Crisis Group (ICG juga mengatakan bahwa para anggota ARSA telah dilatih di luar negeri.

Langkah ARSA

Pemimpinnya adalah Attaullah Abu Ammar Jununi, lahir dari orang tua Rohingya di Karachi, Pakistan, dan dibesarkan di Mekah, Arab Saudi.

Meski begitu, seorang juru bicara kelompok ini membantah hal ini dan mengatakan ke Asia Times bahwa kelompok ini tidak ada hubungannya dengan kelompok jihad dan hanya berjuang untuk orang Rohingya agar diakui sebagai sebuah kelompok etnik.

Pemerintah Myanmar mengatakan bahwa serangan pada 25 Agustus dilakukan dengan pisau dan bom molotov.

Senjata mereka tampaknya kebanyakan dibuat sendiri namun laporan ICG menyiratkan bahwa mereka tidak sepenuhnya amatir dan menunjukkan beberapa bukti bahwa mereka dibantu oleh beberapa veteran dari konflik lain, termasuk orang-orang dari Afganistan.

Juru bicara ARSA yang berbicara ke Asia Times mengatakan, ARSA telah melatih ribuan orang orang sejak tahun 2013.

Namun, serangan pertama mereka baru dilakukan pada Oktober 2016, saat itu mereka membunuh sedikitnya sembilan petugas polisi di pos perbatasan bagian barat Rakhine.

Apakah misi mereka?

ARSA mengatakan kelompok itu bertujuan untuk "membela, menyelamatkan dan melindungi" kelompok Rohingya dari penindasan negara. Aksi pembelaan itu "sejalan dengan prinsip pertahanan diri".

ARSA juga menolak label teroris dengan mengatakan bahwa kelompok itu tidak menyerang penduduk sipil.

Meski begitu, ada beberapa laporan bahwa kelompok itu membunuh informan saat melatih anggotanya.

PBB Didesak untuk Cegah "Genosida" terhadap Rohingya 

ICG mengatakan anggota ARSA adalah laki-laki muda Rohingya yang marah terhadap respons pemerintah Myanmar saat kerusuhan yang mematikan pada 2012.

Anak-anak muda yang berusaha meninggalkan area itu dulunya bisa melakukannya dengan menggunakan kapal ke Malaysia, namun Angkatan Laut Malaysia memblokir rute itu pada 2015.

Hal ini menyebabkan ribuan orang terdampar di laut dan, kata ICG, yang lain mempertimbangkan untuk melakukan kekerasan.

Dalam kondisi kemiskinan ekstrem, tanpa kewarganegaraan dan pembatasan pada pergerakan orang Rohingya, ARSA beraksi.

Konsekuensinya, aparat keamanan membalas kekerasan dengan kekerasan.

Sebuah laporan PBB pada Februari mendeskripsikan "kekejaman yang menghancurkan" dari para prajurit yang telah memukuli, memperkosa dan membunuh orang-orang sejak wilayah Rakhine ditutup setelah serangan Oktober 2016.

Pelapor khusus PBB mengenai situai HAM di Myanmar telah mengatakan bahwa skala penghancuran saat ini "jauh melebihi" tahun lalu.

Apa efek dari serangan balasan

Serangan ke pasukan keamanan telah memicu kekerasan dari pihak militer, yang mengatakan bahwa mereka berjuang melawan militan yang menyerang penduduk sipil.

Lebih dari 100.000 warga Rohingya telah meninggalkan desa mereka dan menyerangi perbataan dan menyeberangi Banglades menuju kamp-kamp pengungsian yang sudah terisi penuh.

Banyak dari mereka mengatakan militer dibantu biksu Buddha, telah meratakan desa-desa dan membunuh warga sipil.

Pemerintah mengatakan kelompok Buddha dan Hindu juga telah meninggalkan daerah itu akibat kekerasan yang ada.

Akses media ke Rakhine, tempat terjadinya kekerasan, sangat terbatas, membuat sulit untuk memverifikasi situasi di lapangan.

Baca: Korban Tewas akibat Kontak Senjata di Myanmar Jadi 71 Orang

Para aktivis dan politikus di seluruh dunia telah menyatakan keprihatinan mereka atas situasi pengungsi ini, dari kekurangan tempat bernaung, air dan makanan.

Ada laporan anak-anak terluka akibat ranjau darat saat mereka berusaha meninggalkan negara itu.

Seorang perwakilan PBB dan penerima Nobel Perdamaian, Malala Yousafzai, meminta pemimpin de facto Myanmar, Aun Sang Suu Kyi, untuk menghentikan kekerasan yang ada.

Suu Kyi sebelumnya mengatakan bahwa ada "banyak kekerasan" di area itu namun pembersihan etnik adalah "terminologi yang terlalu kuat" untuk digunakan.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com