Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Presiden Trump Seharusnya Menangani Masalah Korut?

Kompas.com - 05/09/2017, 06:07 WIB

KOMPAS.com - Uji coba nuklir keenam yang dilakukan Korea Utara secara dramatis telah meningkatkan kekhawatiran dan ketegangan di Asia Timur Laut, dan prospek pecahnya perang di Semenanjung Korea.

Ukuran uji coba terbaru -setara dengan gempa berkekuatan besar menunjukkan perubahan langkah kekuatan destruktif dari aset nuklir Korut.

Kekuatannya lima sampai enam kali lebih besar dari uji coba terakhir yang dilakukan pada bulan September 2016, berpotensi menciptakan dampak tujuh kali lebih besar dari bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima.

Namun demikian, terlalu dini menilai sesumbar Pyongyang yang mengklaim berhasil menguji bom hidrogen.

Korut telah membuat klaim serupa di masa lalu. Tapi, terlepas dari sifat ledakan, tampaknya tak diragukan lagi bahwa kapasitas destruktif dari hulu ledak nuklir Pyongnyang memang telah meningkat secara signifikan.

Mengapa Korea Utara menginginkan senjata nuklir?

Motif uji coba nuklir di Korea Utara tetap tidak berubah. Ambisi Pyongyang untuk memperoleh senjata nuklir berawal dari tahun 1960-an, dan berakar pada keinginan akan otonomi politik, gengsi nasional, dan kedigdayaan militer.

Ditambah lagi, Kim Jong-un berkehendak membangun sistem penangkis untuk melindungi diri dari potensi serangan AS. 

Namun, efek dari pelaksanaan uji coba rudal dan senjata nuklir yang berulang membuat Presiden Amerika Serikat sangat tidak mungkin untuk berpikir melakukan serangan langsung ke negara tersebut.

Hanya mungkin terjadi, melakukan serangan balasan jika diserang Korea Utara -langkah yang juga diketahui oleh para pejabat Korea Utara sebagai langkah bunuh diri.

Perilaku Kim Jong-Un sejak mengambil alih tampuk kepemimpinan Korea Utara pada Desember 2011 menunjukkan bahwa ia adalah aktor yang rasional.

Hal itu terlepas dari sifat egois dan brutal yang ditunjukkannya dengan ketidakseganannya mengeksekusi dan menyingkirkan anggota keluarga dekat dan pejabat elite senior Korea Utara.

Langkah-langkahnya adalah tindakan pengambil risiko yang penuh perhitungan (lebih dari ayahnya, Kim Jong-il) untuk mengolok-olok Presiden Trump.

Lalu, pada saat yang sama dia memperkuat legitimasinya di mata rakyat, dengan mewujudkan modernisasi militer.

Tujuan ini tampaknya sangat populer di kalangan warga Korea Utara, terutama yang tinggal di Pyongyang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com