Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pekerja Seks Tua yang Bersaing dengan Gadis-gadis Belia...

Kompas.com - 29/08/2017, 23:00 WIB

HARARE, KOMPAS.com - Di saat perempuan seusianya sedang sibuk di tengah keluarga, berbagi cerita dengan cucu-cucu, Lucy Mutasa (bukan nama sebenarnya), masih berkubang dalam bisnis prostitusi.

Perempuan berumur 52 tahun itu masih terus menjual seks untuk membeli makan, garam, kayu bakar, atau pun segenggam sayuran di wilayah Epworth, Provinsi Harare, Zimbabwe.

Mutasa ternyata hanya salah satu dari banyak pekerja seks tua di lingkungan miskin Harare itu.

Mereka masih harus bersaing dengan remaja, untuk menjual tubuh mereka kepada para pria demi mendapatkan uang 50 sen untuk menyambung hidup.

Ironis. Dalam bisnis ini, Mutasa pun berkompetisi dengan putrinya yang berusia 28 tahun, Maidei, dan kadang-kadang dengan gadis-gadis berusia 13 tahun.

Baca: Kaum Difabel di Jerman Diusulkan Dapat Dana untuk Bayar Pekerja Seks

"Sebagian besar klien saya adalah anak laki-laki muda yang biasanya ingin mencicipi 'magogos' (wanita tua)."

"Kami memberi mereka yang terbaik, sehingga mereka terus kembali dengan uang mereka," kata Mutasa.

Mutasa mengungkapkan kesaksiannya itu dalam sebuah acara yang digagas National Aids Council (NAC), seperti dilansir laman the Standard, Zimbabwe, Selasa (29/8/2017).

Wajahnya yang tua ditaburi bedak amat tebal, lengkap dengan alis yang gelap, tapi toh upaya itu tak mampu menyembunyikan usianya.  

Bahkan, cara dia berjalan pun sudah menunjukkan bahwa Mutasa telah amat berumur.  

"Saya tahu bagaimana menangani klien lebih baik daripada gadis-gadis muda ini."

"Bahkan tempat tidur saya pun berbeda, dan saya tahu cara mencuci diri, membersihkan bagian pribadi saya, untuk memuaskan pelanggan saya."

"Karena itu saya bisa bertahan dalam 'permainan' ini," kata Mutasa.

Baca: My Red Light, Proyek Pelacuran Mandiri bagi Para Pekerja Seks di Amsterdam

Tubuhnya telah menunjukkan bahwa Mutasa sudah teramat tak muda lagi. Namun, bagaimana dia berdandan mencerminkan "cerita" yang lain lagi.

Make-up tebal yang menutup wajahnya menunjukkan dia menolak pensiun dari profesi tertua di muka bumi itu.  

"Jika saya pensiun, siapa yang akan menjagaku?"

"Putriku juga bekerja di bidang ini dan berusaha menjaga dirinya sendiri."

"Aku telah berkecimpung dalam perdagangan ini selama lebih dari 30 tahun," ujar Mutasa.

"Saya memulainya setelah suami saya -sekarang sudah meninggal dunia, menipu saya dan kami bercerai."

"Saya tidak punya pilihan kecuali mencari sesuatu yang bisa menopang hidup saya."

"Memang, organ intim saya bak emas, ini adalah tambang emas, dan saya 'ini' yang telah menopang keluarga saya."

Pengakuan itu dituturkan Mutasa kepada wartawan yang sedang mengunjungi pekerja seks di sana.

Krisis ekonomi

Mutasa dan pekerja seks lainnya di Epworth tercekik di bawah krisis yang telah menghantam perekonomian negeri itu sejak tahun 2015.

Terkadang mereka pergi "bekerja" dan kembali tanpa sepeser uang pun. Atau, mereka terpaksa "membanting harga" hingga 30 sen dollar, hanya untuk menukarnya dengan sesuatu yang bisa dimakan.  

"Terkadang kami pergi berhari-hari tanpa membawa uang. Lalu kami mendapatkan orang-orang yang mau membayar 30 sen untuk waktu yang singkat. Coba bayangkan."

Saat memberikan kesaksiannya, Mutasa sedang mengalami cedera. Dia mengaku, sekelompok pelanggan yang menuntut potongan harga, marah dan membakar pangkal pahanya.

"Lihatlah paha saya, dibakar oleh sejumlah pelanggan yang ingin harga dikurangi dari 30 sen dan saya menolak," kata dia.

Baca: Paus Fransiskus Mendadak Datangi Para Mantan Pekerja Seks di Roma

"Saat saya sedang bernegosiasi, salah satu dari mereka mengambil kayu bakar, dan menghantamkannya selangkangan saya."

"Saya bersyukur kepada Tuhan, api itu tak sampai membakar bagian pribadi saya. Tapi ini sangat buruk," ucap dia.

Mutasa lalu menyebut, karena kondisinya yang sedang sakit, anak perempuannya yang kini menopang kebutuhan keluarga.

Selama ini, ibu dan anak itu memang saling berbagi. Bilik tempat mereka "bekerja" pun hanya dipisahkan dengan tirai, demi memberi privasi kepada para pelanggan.  

"Dia akan bersama pelanggan di sekat sebelah, dan saya 'bekerja' di sebelah sini," sebut dia.

HIV/AIDS

"Kami hanya berusaha untuk memenuhi kebutuhan. Secara moral ini buruk, tapi kami tidak punya pilihan," kata dia.

Mutasa mengaku menyukai pekerjaan itu bukan karena hal ini bagus. Namun dia mengaku terpaksa menjalaninya demi kelangsungan hidup dia dan keluarganya.  

Mutasa mengaku percaya bahwa pekerja seks yang lebih tua berada dalam posisi yang lebih baik untuk bernegosiasi untuk seks aman, dan mencegah penyebaran HIV dan AIDS.

Baca: Cerita Pekerja Seks yang Mangkal di Lokasi Legal di Kota Leeds

"Sebagian besar pekerja seks remaja ini tidak dapat menegosiasikan seks aman, dan pada akhirnya mereka terpapar terhadap HIV dan AIDS," kata dia.

Dengan bantuan Springs of Life Zimbabwe dan NAC, pekerja seks di Booster ini memiliki kebijakan yang telah mereka perkuat menjadi slogan, "tidak ada kondom, tidak seks, atau lebih kondom, lebih banyak seks".

"Kami mendapatkan layanan HIV dan AIDS reguler dari Springs of Life dan NAC dan kami menghargai itu," kata Mutasa.

Namun kami khawatir dengan para pekerja seks muda dan remaja yang gagal bernegosiasi untuk seks yang aman.  

"Kebanyakan pria mengejar mereka, sehingga menyebabkan gadis-gadis ini menderita penyakit," kata Mutasa.

Baca: Wanita Pekerja Seks yang Dianiaya di Hotel Ternyata Diantar Suami

"Mereka tahu bahwa kita bisa mengendalikan dan bernegosiasi untuk seks terlindungi, karena itu mereka menghindar dari kita."

"Bagian yang lucu adalah bahwa para laki-laki muda datang kepada kami, karena mereka menginginkan pengalaman dan kerapihan kami."

"Sementara,  orang tua menginginkan anak-anak perempuan yang muda."

Pekerja seks anak

Di negara yang tingkat penganggurannya kini mencapai sekitar 90 persen, memang terjadi peningkatan jumlah pekerja seks.

Koordinator Springs of Life, Precious Msindo mengatakan ada kekhawatiran besar akan meningkatnya pelacuran anak di Epworth.

"Sayang sekali, jumlah pekerja seks anak yang meningkat, mereka putus sekolah, dengan usia muda, sekitar 12 tahun," katanya.

"Bagian yang paling disayangkan adalah kegagalan mereka untuk menegosiasikan seks aman dan melawan pelecehan dari yang lebih tua."

"Sebagai sebuah organisasi, kami membantu mereka melalui bimbingan spiritual, namun lebih banyak yang harus dilakukan," kata Msindo.

Dia menyebut, harus ada peraturan terkait praktik pelacuran yang berkembang bersamaan perdebatan mengenai apakah Zimbabwe harus melegalkannya, dan peraturan operasi yang jelas, agar pekerja seks terlindungi dari pelecehan.

Pendukung legalisasi pekerja seks berpendapat, kebijakan itu akan membersihkan industri dan melindungi perempuan dari pelecehan.

Baca: HIV/AIDS Marak, Jangan Salahkan Pekerja Seks

Petugas informasi NAC, Tadiwa Pfupa mengatakan, upaya penjangkauan terhadap para pekerja seks di Epworth, dan titik-titik lainnya akan membantu mengurangi tingkat prevalensi HIV.

"Kekhawatiran dari perspektif NAC adalah isu pekerja seks remaja yang tidak dapat bernegosiasi untuk seks yang aman. Itu adalah kekhawatiran besar," kata Pfupa.

Epworth telah disebutkan di antara 10 titik panas teratas untuk infeksi HIV di negara ini, dengan area Booster menjadi tempat utama.

Hal itu menjadi masuk akal karena tingginya jumlah pekerja seks di Booster.

Statistik dari NAC menunjukkan, pada kuartal kedua 2017, Epworth dan Ruwa, dengan populasi 37.993, tercatat ada 1.474 kasus penyakit menular seksual.

Jumlah itu memiliki tingkat prevalensi 15 persen lebih tinggi daripada rata-rata nasional sebesar 14 persen.

Baca: Komunitas Kiwir, Kumpulan Pria Pacar Pekerja Seks Berperan Atasi HIV/AIDS

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com