Suasana di sana cukup menyenangkan. Sebagian besar keluarga telah berada di sana sejak akhir Mei. Mereka bisa memasak, juga tersedia toilet dan peralatan mencuci. Bahkan di dekat pintu masuk aula terdapat area untuk urusan administrasi.
Di situ terpasang papan buletin yang menampilkan berbagai informasi seperti gambar anak-anak, catatan sumbangan dan komite, termasuk juga komentar keluhan. Seorang pengungsi bahkan dengan giat mendirikan sebuah warung atau yang biasa disebut "sari-sari".
Ketika saya bertanya tentang tatonya yang rumit dan apakah dia anggota sebuah geng, dia berpaling sebelum menjawab, "Saya tidak ingin pulang ke rumah ketika saya remaja. Saya dulu anak nakal. Ayah saya sampai harus mengurung saya selama enam bulan dan saat itulah saya mendapatkan tato ini. Saya sadar setelah saya menikah."
Mindanao adalah sepotong pulau tempat lahirnya tokoh-tokoh lokal terkemuka. Mantan Walikota Davao yang kini menjadi Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, adalah contoh terbaiknya. Selama hampir dua dekade, dia memerintah kotanya dengan tegas, berhasil menciptakan surga yang damai dan kemakmuran yang langka.
Karena otoritas Manila mengalami kondisi naik turun, kaum lelaki (dan juga perempuan) seperti Duterte secara harfiah adalah “hukum” di daerah kekuasaannya masing-masing. Namun, jika Anda berkendara beberapa kilometer dari Davao, "Pax Duterte" benar-benar menghilang, tak ada pengaruhnya.
Di satu sisi, terdapat sebuah akronim yang "susah dipahami” dari kelompok Muslim seperti MNLF (Moro National Liberation Front) dan MILF (Moro Islamic Liberation Front). Memang, sebagian anggota kelompok Maute merupakan pecahan dari kelompok MILF yang dipimpin oleh Abdullah Maute, yang disebut juga sebagai pendiri "Negara Islam" di Lanao.
Di sisi lain, Mindanao juga merupakan panggung utama bagi para pejuang komunis, NPA. Ini menjadi sesuatu yang membingungkan untuk memahami situasi di Mindanao antara situasi yang dipicu oleh persoalan agama, ideologi, separatisme, dan kriminalitas.
Konflik Marawi meletus pada Mei 2017 ketika pemerintah Filipina melancarkan operasi pemburuan untuk menangkap Isnilon Hapilon, seorang "Emir" atau pemimpin militan ISIS di Filipina. Pasukan Hapilon kemudian membalasnya dengan memanggil sekutu-sekutu mereka termasuk kelompok Maute.
Pada 23 Mei 2017, lebih dari 500 pejuang menyerang tentara Filipina di Camp Ranao, menguasai beberapa gedung pemerintah, dan menyandera masyarakat sipil. Saat pertempuran kian memanas, kota Marawi dengan cepat dikosongkan.
Meskipun demikian, pasukan pemerintah tidak dapat sepenuhnya mengusir para militan.
Penduduknya bahkan dapat dikatakan sangat independen dan umumnya menentang kewenangan pihak otoritas.
Berbicara dengan penduduk setempat telah membuat saya melihat konflik itu bukan sebagai pertikaian besar antar kelompok yang berbeda budaya, seperti ISIS menyerang masyarakat Filipina yang beragama Katolik.
Namun, pertikaian itu lebih sebagai konflik antargangster yang menggunakan kekerasan brutal dan mengatasnamakan keagamaan.
Namun bagi Ali Nur, Orick, dan kelima anaknya, kehancuran kehidupan mereka sangatlah nyata.
Hidup mereka telah terenggut. Pendidikan anak-anaknya ikut terganggu meski untungnya tidak sampai terhenti.
"Memenangkan" pertempuran Marawi dan mengembalikan perdamaian di Mindanao pada akhirnya akan sangat bergantung pada pulihnya kembali kehidupan para puluhan ribu pengungsi seperti Ali Nur dan keluarganya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.