Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Seorang Pria Korban Pemerkosaan Angkat Bicara...

Kompas.com - 08/08/2017, 05:30 WIB

"Jika saya berbicara mengenai hal itu, saya akan dikucilkan dari masyarakat. Bahkan mereka yang merawat saya tidak akan menyalami tangan saya."

KOMPAS.com - Stephen Kigoma diperkosa dalam konflik di negara asalnya, Republik Demokratik Kongo.

Dia menggambarkan penderitaannya dalam sebuah wawancara dengan wartawan BBC Alice Muthengi, dan menyerukan para penyintas lain untuk melapor.

"Saya sempat menyembunyikan kenyataan bahwa saya adalah seorang laki-laki korban perkosaan. Saya dulu tidak dapat membuka diri - karena hal ini tabu," katanya.

"Sebagai seorang pria, saya tidak bisa menangis, karena orang akan mengatakan bahwa kami adalah seorang pengecut, kami lemah, kami bodoh."

Perkosaan itu terjadi saat sejumlah pria menyerang rumah Stephen di Beni, sebuah kota di Timur Laut Republik Demokratik Kongo.

"Mereka membunuh ayah saya. Tiga orang memperkosa saya, dan mereka bilang: 'Kamu kan laki-laki, jadi bagaimana kamu nanti mengaku bahwa kamu diperkosa?"

"Itu adalah senjata yang mereka gunakan untuk membungkam kami."

Setelah melarikan diri ke Uganda pada tahun 2011, Stephen mendapat pertolongan medis.

Namun perawatan itu baru terjadi setelah seorang fisioterapis yang merawatnya untuk masalah punggung menyadari ada sesuatu yang lain pada luka-lukanya.

Ia dibawa ke dokter yang merawat korban kekerasan seksual, dan dia adalah satu-satunya pria di bangsal tersebut.

"Saya merasa diremehkan, saya berada di antah berantah, harus menjelaskan kepada dokter bagaimana hal itu terjadi. Itulah ketakutan saya."

Stephen bisa mendapatkan konseling melalui Proyek Hukum Pengungsi, sebuah LSM di Ibu Kota Uganda, Kampala.

Dia pun adalah satu dari enam pria yang berbicara mengenai penderitaan mereka sebagai korban perkosaan.

Polisi bukan opsi

Refugee Law Project, kelompok yang menyelidiki pemerkosaan laki-laki di Republik Demoktratik Kongo, juga telah menerbitkan sebuah laporan tentang kekerasan seksual di antara pengungsi Sudan Selatan di Uganda utara.

Ditemukan, lebih dari 20 persen perempuan mengaku telah diperkosa -dibandingkan dengan hanya empat persen pria.

"Penyebab utama mengapa lebih sedikit pria melaporkan adalah orang menganggap mereka harus kebal, mereka pasti melawan."

"Kalau ternyata terjadi juga, mereka dianggap membiarkannya dan mereka pasti dicap homoseksual," kata Chris Dolan, Direktur Refugee Law Project kepada program BBC Focus on Africa.

"Tantangan hukum menjadi masalah ketika berbicara mengenai pria yang melaporkan kasus pemerkosaan," tambahnya.

"Dalam Statuta Roma (yang menjadi dasar Mahkamah Pidana Internasional) definisi perkosaan cukup luas, untuk mencakup perempuan dan laki-laki."

"Namun dalam kebanyakan undang-undang domestik, definisi perkosaan melibatkan penetrasi vagina oleh penis."

"Berarti jika seorang pria melaporkan, mereka akan dibilang bahwa itu bukan perkosaan, itu adalah pelecehan seksual."

"Ada masalah yaitu kriminalisasi aktivitas sesama jenis -ini berkisar pada penetrasi tubuh laki-laki, bukan sekitar persetujuan atau kurangnya persetujuan."

Pada tahun 2016, Uganda menerima lebih banyak pengungsi daripada negara lain di dunia, dan dipuji karena memiliki sejumlah kebijakan paling ramah di dunia terhadap mereka.

Tetapi, untuk korban perkosaan pria seperti Stephen, kehidupan di sana dapat menjadi sulit.

Homoseksualitas merupakan hal ilegal di Uganda, dan pergi ke polisi untuk melaporkan perkosaan tidak selalu menjadi pilihan terbaik.

"Ketika saya bertanya kepada polisi, mereka mengatakan bahwa jika ada kaitannya dengan penetrasi antara pria dengan pria, itu gay," kata dia.

"Jika itu terjadi pada seorang perempuan, kita mendengarkan mereka, merawat mereka, peduli dan menyimak mereka -membiarkan mereka bersuara."

"Tapi apa yang terjadi kalau korbannya adalah pria?"

Baca: Mengapa Tak Semua Korban Perkosaan Melawan Balik?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com