Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

William Morva, Napi Sakit Mental di AS Jalani Eksekusi Suntik Mati

Kompas.com - 07/07/2017, 11:37 WIB

WASHINGTON, KOMPAS.com - William Morva, pria yang dijatuhi vonis dihukum mati karena membunuh seorang penjaga penjara dan seorang polisi menjalani eksekusi mati di Virginia, Amerika Serikat.

Eksekusi itu tetap dilakukan meskipun belakangan muncul pembelaan mengenai kondisi kesehatan mental dari terpidana itu.

Pria berusia 35 tahun yang memiliki kewarganegaraan ganda, AS dan Hungaria, menurut aktivis hak asasi manusia menderita gangguan jiwa, skizofrenia.

Morva menghembuskan nafas terakhir setelah mendapat suntikan mati pada pukul 09.15 waktu setempat atau pukul 08.15 WIB, Jumat (7/7/2017).

Seperti diberitakan AFP, beberapa jam sebelumnya, Gubernur negara bagian Terry McAuliffe menolak untuk memberikan perpanjangan waktu bagi Morva.

McAuliffe mengaku telah memeriksa kasus tersebut bersama tim hukumnya, dan menyimpulkan, Morva telah mendapatkan proses peradilan yang adil.

Selain itu, juri pun sudah mendengar bukti substansial tentang kesehatan mentalnya saat mereka bersiap untuk menghukum.

Morva awalnya dipenjara karena percobaan perampokan bersenjata. Namun di tahun 2006 ia melarikan diri dari rumah sakit penjara Virginia.

Kala itu, dia memukuli seorang deputi dan mengambil pistolnya. Pistol itu kemudian dia gunakan untuk membunuh seorang penjaga.  

Dia menggunakan senjata yang sama untuk menembak mati deputi sheriff sehari kemudian, saat pengejaran di dekat kampus Universitas Virgina Tech.

Morva dijatuhi hukuman mati pada tahun 2008, meskipun dua psikiater mendiagnosa lelaki itu mengalami gangguan mental yang parah.

"Petisi Morva bergantung pada diagnosa psikiater yang mengamatinya hampir tujuh tahun setelah diadili," kata McAuliffe.

"Tim saya dan saya mengevaluasi laporan tersebut secara dekat di samping temuan para ahli yang bersaksi di pengadilan."

"Itu yang digunakan sebelum menentukan apakah keseluruhan temuan itu menyebabkan dewan juri atau hakim mengajukan banding untuk menjatuhkan hukuman yang berbeda," kata McAuliffe lagi.

Pembela Morva berpendapat, narapidana itu menderita delusi psikologis yang membuatnya tidak mampu memahami akibat dari tindakannya.

Selain itu, anggota juri pun dirasa tidak diberi gambaran akurat tentang keadaan mental Morva selama persidangan.

Penolakan Gubernur untuk membebaskan Morva terjadi sehari setelah dua pejabat tinggi hak asasi manusia PBB menyerukan eksekusi.

Hal itu menimbulkan dugaan dan juga keprihatinan mendalam bahwa pengadilan asli Morva tidak memenuhi pengamanan pengadilan yang adil.

Baca: Arab Saudi Gelar Eksekusi Mati ke 19 dan 20 di Tahun 2017


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com