DESEMBER 2016 dan saya sedang berada di kawasan pusat teknologi Manila, Bonifacio Global City, bersama Tim KRA. Kami sempat brunch di Wildflour, salah satu kafe popular yang menyajikan aneka patisserie lezat, sebelum menuju tempat pertemuan dengan relasi kami.
Salah satu anggota tim saya dari Malaysia kembali dari loket penukaran uang dengan wajah masam dan mengeluhkan, "Ringgit melemah 10% dari Peso Filipina."
Ucapan lain pun terlontar: “Yeah, benar-benar jatuh terhadap Rupiah.” “…dan juga terhadap Dong, mata uang Vietnam!”
Keheningan sejenak terjadi di antara kami ketika kami mencoba memahami informasi tersebut. "Huh, benar-benar buruk. Semua orang mengeluh di KL."
Beralih cepat ke Hari Raya Idul Fitri 2017 dan situasi keuangan lebih membaik dibandingkan akhir tahun lalu. Ringgit telah menjadi salah satu mata uang dengan performa terbaik di kawasan, dan ini tepat dua puluh tahun setelah Krisis Keuangan Asia 1997.
Selain itu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya, saya berada di Kuala Lumpur untuk ikut merayakan Hari Raya. Tidak perlu disangkal lagi bahwa Hari Raya sesungguhnya waktu yang tepat pula untuk sebuah perenungan.
Sebab, perayaan tahun ini terasa seperti ada yang kurang. Meski Ringgit membaik, masyarakat Malaysia sedang berjuang menghadapi kenaikan harga, tarif pajak baru, situasi perekonomian yang rapuh, dan sejumlah skandal yang tak kunjung selesai.
Bagi saya, yang saat ini menempati rumah dengan hanya berjarak selemparan batu dari rumah masa kecil saya di sebuah bukit yang menghadap ke kota, ada perasaan ingin kembali bepergian jauh.
Dulu saya adalah penggemar berat Thomas Friedman dan Francis Fukuyama. Mereka adalah penulis dan sejarawan yang dengan berani meneriakkan bahwa negara demokratis liberal, toleransi, globalisasi dan berteknologi, tidak terelakkan.
Buku-buku itu sekarang telah berdebu. Namun, saya justru melewatkan hari itu dengan mengamati tupai dan burung di pepohonan yang mengelilingi rumah saya, termasuk datangnya segerombolan monyet.
Banyaknya hewan liar itu sekali lagi mengingatkan saya akan masa lalu saya. Tentu saja, kehidupan masyarakat Malaysia telah berubah.
Sekitar lima puluh tahun yang lalu, seorang pria bernama Dr Mahathir Mohamad mengritik sekelompok kalangan atas dan menuduh mereka melakukan korupsi serta ketidakbecusan mengatur segala hal.
Dua puluh tahun yang lalu, dia berjuang melawan serangan pasar keuangan dunia dan wakilnya, Anwar Ibrahim, yang ambisius.
Hari ini, dia masih mondar-mandir di atas panggung, dengan mudah melupakan bagaimana dia selama dua puluh tiga tahun sebagai Perdana Menteri melemahkan institusi-institusi yang menentang dirinya, mulai dari anggota Parlemen hingga institusi pengadilan dan kepolisian.