Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

China, Raksasa yang Rapuh

Kompas.com - 23/05/2017, 23:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Pandai berdagang

Penting untuk dicatat bahwa para pedagang China ini tidak pernah berusaha untuk menduduki dan memonopoli pelabuhan yang mereka kunjungi. Mereka berdagang, menetap dan kemudian berlayar kembali.

Ini sangat berbeda dengan orang-orang Portugis, Belanda, dan Inggris yang kerap menggunakan senjata api untuk menguasai perdagangan.

Memang, orang-orang Hokkien adalah penikmat keuntungan paling besar selama abad ke-11 dan ke-12 di bawah Dinasti Song Selatan yang sangat mendukung perdagangan yang saat ini berbasis di Hangzhou.

Mengasah kemampuan mereka dalam navigasi dan berdagang, mereka telah tumbuh dengan kesiapan menguasai perjalanan perdagangan di negara-negara Asia hingga Afrika Timur dan Teluk Persia.

Pada akhirnya, para pemikir China, terutama penganut Konfusius, telah menentang keras perdagangan tersebut.

Di dalam catatan sastra, para penganut Konfusius dengan sinis menyatakan, ”Para Bangsawan itu memahami suatu kebenaran, orang kecil hanya tahu keuntungan.”

Dengan demikian, ketika para kelompok terpelajar Konfusius dan Mandarin memegang kekuasaan, seperti di masa sebagian besar Dinasti Ming, dan mengendalikan akses ke Kaisar, maka aktifitas perdagangan dan diplomasi pun mengalami masa sulit.

Perlu dicatat juga bahwa ajaran Buddha (agama dari luar dan tersebar lewat laut) juga menjadi tantangan besar bagi ortodoksi dan dominasi konfusianisme. Ketegangan antara ajaran Buddha dan Konfusianisme pun telah memicu ketidapercayaan dan terkadang, menjadi alasan untuk menghancurkan perdagangan Laut Selatan.

Pada abad ke-9 dan 10, perdagangan antara China dan India berkembang pesat. Di saat yang sama, para kaum terpelajar religius dan para biksu justru bergerak maju mundur di antara latar belakang pembelajaran Buddha, Nalanda di sungai Ganges, dan China yang memberikan perkembangan besar di Asia Tenggara, terutama di wilayah perdagangan Sumatera, yakni Sriwijaya yang memiliki kitab suci dan artefak suci untuk dikirim ke China.

Meskipun begitu, para penganut Konfusius mengritik keras masuknya barang-barang mewah seperti kayu cendana, cengkeh, tempurung kura kura dan cula badak. Mereka menganggap barang-barang tersebut tidak bermanfaat.

Biasanya, sutra dan keramik buatan China tidak cukup untuk membayar pembelian barang dari negeri orang. Sementara uang logam tembaga telah diekspor dalam jumlah besar untuk membayar pembelanjaan negara, hingga memicu inflasi dan menjadi momok bagi perekonomian negara tersebut.

Dengan demikian, keliru jika menganggap bahwa China pasti akan menjadi negara hegemoni global, atau hegemoni regional.

Kekaguman kami saat ini atas kekuatan pertumbuhan China terkait langsung dengan tidak kompetennya pemerintahan Donald Trump.

Xi Jinping merupakan puncak dari pemimpin global yang tenang, bermartabat, dan selalu menyadari skala tanggung jawabnya. Trump, sebaliknya, tidak lebih dari bintang TV yang dipaksakan.

Secara terpisah, meskipun China memiliki pencapaian di sektor infrastruktur seperti jalan tol, rel kereta api, pelabuhan dan kota-kotanya yang mempesona, namun ini hanyalah sebuah potret belaka.

Kenyataannya yang mendasar dari negeri ini adalah masyarakatnya suka berutang, sangat tidak kompeten dan “over-built”, yang bakal bisa hancur oleh “gempa” dalam demografisnya sendiri, seperti kebijakan One Child yang mulai menimbulkan dampak negatif selama beberapa dekade dan mengakibatkan pertumbuhan penduduk China mulai menurun'

Advokat terbaik yang memiliki argumen yang mengherankan namun sangat masuk akal atas hal ini adalah mantan Kepala Biro New York Times Shanghai, Howard French, dalam bukunya berjudul "Everything Under the Heavens: How The Past Helps Shape China's Push for Global Power".

Dalam bukunya ini, French memberikan penjelasan yang sangat bagus tentang kesengsaraan demografi yang nyaris tersembunyi.

Inti poin yang dituliskan French adalah bahwa China telah menyia-nyiakan keuntungan dari demografisnya. Tingkat kelahiran (diproyeksikan ada di level 1,51 persen pada 2020) telah turun di bawah tingkat penggantian manusia.

Sebaliknya, tingkat rata-rata usia (empat puluh sembilan tahun pada 2050) malah tumbuh dengan cepat.

Artinya, China akan menjadi tua sebelum menjadi kaya dan sumber daya yang dimiliki malah diperlukan untuk merawat para manula (berusia di atas 65 tahun) yang diproyeksikan mencapai 329 juta penduduk pada 2050.

Jumlah itu setara dengan gabungan dari populasi Prancis, Jerman, Jepang dan Inggris hingga akan melemahkan kapasitasnya dalam melakukan proyek-proyek internasional.

Jadi, konferensi OBOR mungkin akan membuat China terlihat seperti raksasa yang sedang naik daun. Namun, mari kita juga tidak melupakan fakta bahwa China sesungguhnya memiliki kelemahan tersembunyi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com