Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Perang Budaya, Bercermin pada Muna dan Afiq

Kompas.com - 08/05/2017, 13:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

MALAYSIA merupakan negara yang dengan cepat menjadi titik awal dari "perang budaya" global, karena bertentangannya visi yang diperjuangkan masyarakat dengan visi yang berkuasa.

Secara umum, terdapat dua kekuatan utama yang bekerja. Satu sisi adalah pandangan berbasis common law yang cenderung lebih condong ke arah Barat.

Hal ini telah terbentuk karena lokasi negeri ini yang strategis, yang berada di jantung salah satu rute perdagangan tersibuk di Asia, kaya akan sejarah, dan berbagai komunitas masyarakatnya yang telah menetap di sini.

Namun di sisi lain, terdapat sebuah pendekatan puris yang berpegang teguh pada tradisi Islam.

Sebagai penulis dan mantan pengacara, saya jelas termasuk dalam kategori pertama. Namun, tidak ada keraguan bahwa saat ini kategori kedua sedang menghimpun kekuatan.

Selama bertahun-tahun, saya telah menghindari banyak interaksi dengan sisi "yang lain" tersebut, karena perbedaan pandangan dunia tampak begitu keras dan kuat.

Didorong oleh rasa keingintahuan untuk memahami lebih baik masyarakat yang berpemikiran konservatif, saya pun mengatur pertemuan dengan pasangan Melayu yang baru saja menikah, Muna ‘Adila dan Afiq Awang.

Keduanya baru berusia pertengahan dua puluhan dan sama-sama lulusan Universitas Islam International di pinggiran timur Kuala Lumpur.

Dengan busana yang serba longgar namun sopan, hijab Muna pun hingga menyentuh pinggang, mereka terlihat sebagai umat Muslim yang saleh.

Namun, meski pakaian mereka berbeda dengan anak muda lainnya, sesungguhnya mereka menghadapi banyak tantangan yang sama, seperti bagaimana mengatasi biaya hidup dan harga rumah yang sangat tinggi.

Keduanya juga menyadari bahwa hidup mereka tidak semakmur orangtua mereka, yang pada satu titik memicu kemarahan dan penghinaan mereka terhadap Perdana Menteri Najib Razak dan pemerintahannya.

Secara pribadi, saya menyukai cara Afiq mendorong Muna, yang sedang dalam proses pelatihan untuk menjadi pengacara, untuk menyampaikan pandangannya.

Memang, saat kami berbincang, saya pun terpesona dengan indahnya senyum Muna serta sikapnya yang tenang dan berwibawa.

Sebagai seorang peserta pelatihan pengacara, lanjutan dari pendidikan hukumnya, di dalam diri Muna yang mempelajari sistem hukum Syariah dan Sipil ini telah tertanam sifat keterusterangan yang patut ditiru.

Afiq yang bekerja sebagai staf di bagian Kepatuhan Syariah sebuah perusahaan farmasi, tidak begitu banyak berargumen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com