Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rakyat Perancis Memilih dalam Ketidakpastian

Kompas.com - 07/05/2017, 13:44 WIB

Tim Redaksi

PARIS, KOMPAS.com - Hari Minggu (7/5/2017) ini rakyat Perancis memulai sejarah baru dengan memilih presiden yang bukan berasal dari partai arus utama.

Jika kandidat independen Emmanuel Macron yang terpilih, ia akan menjadi presiden termuda dalam sejarah Republik Kelima Perancis.

Jika kandidat ekstrem kanan Marine Le Pen yang terpilih, ia menjadi perempuan presiden pertama di negeri itu.

Namun, masa depan Perancis dan Uni Eropa akan sangat tergantung dari siapa yang menjadi pemenang.

Kedua kandidat ini merepresentasikan kekontrasan. Macron menawarkan visi Perancis yang terbuka, multilateral, dan sangat pro Uni Eropa.

Baca: Logistik Pemilu di Perancis Mulai Dikirim

Le Pen menyuarakan Perancis yang tertutup, kembali ke tradisi, dan nasionalistik.

Jika terpilih, Le Pen akan melaksanakan referendum agar Perancis keluar dari Uni Eropa dan meninggalkan mata uang euro.

Jika Macron ingin merangkul imigran dan mengedepankan program integrasi dengan memperbaiki kondisi sosial di pinggiran kota yang didiami kaum imigran, Le Pen ingin menutup perbatasan Perancis dari imigran dan melakukan deportasi.

Seandainya pemilu ini dilakukan lima atau 10 tahun lalu, dengan mudah kita bisa memprediksi siapa yang bakal menjadi pemenang.

Setidaknya, situasi seperti ini pernah terjadi tahun 2002 ketika Jacques Chirac berhadapan dengan Jean Marie Le Pen, ayah Marine.

Baca: Pemilu Perancis Diwarnai Isu SARA

Seluruh kekuatan di luar partai ekstrem kanan bersatu padu memblokade Le Pen sehingga Chirac menang dengan dukungan suara mencapai 80 persen.

Namun kini, meski berbagai jajak pendapat secara konsisten mengunggulkan Macron, tak ada pihak yang benar-benar yakin.

Keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat memberikan pelajaran bahwa segalanya menjadi mungkin.

Saat itu berbagai jajak pendapat meramalkan kubu Brexit tidak akan menang dan peluang Trump menjadi presiden jauh lebih kecil dibandingkan dengan Hillary Clinton, pesaingnya dari Partai Demokrat.

Macron diunggulkan

Jika melihat hasil putaran pertama, dengan hasil Macron di urutan pertama dengan 24 persen, disusul Le Pen (21,3 persen), Francois Fillon (20 persen), Jean-Luc Melenchon (19,6 persen), Benoit Hamon (6,36 persen), dan Dupont Aignan (4,7 persen), maka di atas kertas keunggulan ada pada Macron.

Alasannya, Fillon, Melenchon, dan Hamon sudah menyerukan kepada pemilihnya untuk tidak memberikan suara kepada Le Pen.

Namun, para pemilih Fillon dan Melenchon tidak semudah itu dipersuasi. Baik Fillon maupun Melenchon memiliki program inti yang bersinggungan dengan Le Pen dan menjadi daya tarik para pemilihnya.

Baca: Perancis Gelar Pemilu Presiden

Melenchon sejak awal anti Eropa dan tidak ingin Perancis didikte oleh Brussels, sedangkan Fillon menjanjikan program yang tegas bagi imigran.

Kedua poin penting ini tidak ada dalam program Macron, tetapi bermuara dalam program Le Pen.

Indikasi ini makin jelas terlihat ketika survei menunjukkan dua pertiga pendukung Melenchon menyatakan akan abstain dan total 25-30 persen pemilih di Perancis akan abstain atau datang ke TPS tapi tidak akan mencoblos kertas suara.

Perkembangan politik yang belum pernah terjadi ini menunjukkan bahwa mayoritas pemilih sudah muak dengan pemerintah dan partai-partai arus utama yang dinilai ingkar janji.

Pada umumnya mereka juga tidak sepakat dengan visi xenofobia Le Pen.

Namun, visi Macron yang sangat pro Eropa tidak meyakinkan pemilih yang sangat khawatir akan kondisi perekonomian Perancis.

Baca: Akibat Pemilu Perancis, Wall Street Tutup Saham Sementara

Pengangguran yang saat ini mencapai lebih dari 10 persen, dan kekhawatiran hilangnya kesempatan kerja, merupakan isu paling penting bagi para pemilih.

AP PHOTO/BOB EDME Petugas merapikan surat suara di meja tempat pemungutan suara di Balai Kota Bayonne, Perancis barat daya, Jumat (5/5/2017).
Terkait ini, Le Pen berhasil mengembuskan isu bahwa hilangnya pekerjaan di Perancis karena direbut oleh kaum imigran sehingga imigran harus diusir. Meski logikanya tidak ada, banyak pemilih yang memercayai ini.

Beda gaya

Perang di antara kedua kandidat dengan visi yang kontras ini tergambar secara nyata dalam "drama Whirlpool", pekan lalu.

Ketika Macron sedang bertemu dengan para pemimpin serikat buruh, Le Pen secara diam-diam mendatangi pabrik mesin cuci di Amiens, yang menurut rencana akan ditutup dan pabriknya dipindahkan ke Polandia tahun depan.

Le Pen yang berada di lokasi selama 10 menit disambut dengan pelukan dan sanjungan para karyawan. Mereka pun melakukan swafoto. Macron yang mendengar kabar ini langsung tersengat.

Baca: Macron atau Le Pen, Keduanya Bisa Bebani Jerman

Pertama, Amiens adalah kota kelahirannya. Kedua, langkah Le Pen sangat efektif karena menunjukkan solidaritas dengan kaum pekerja yang terancam kehilangan pekerjaan.

Gaya kepemimpinan Le Pen bagaikan seorang ibu yang mencoba membesarkan hati anak-anaknya yang sedang kesusahan.

Tak lama kemudian, Macron langsung mendatangi tempat yang sama. Ia disoraki dan dicaci para pekerja. Namun, Macron bergeming. Dengan sabar ia menjawab semua pertanyaan karyawan yang disiarkan langsung oleh televisi.

Tanya jawab dengan para pekerja berlangsung lebih dari satu jam dan setelah itu mereka saling bersalaman.

Di sini Macron menunjukkan gaya kepemimpinan yang mau mendengarkan, mau mengambil risiko, tetapi juga tak ingin memberikan janji kosong.

Gaya kepemimpinan ini juga secara konsisten terlihat dari bagaimana ia membangun gerakan politik En Marche! (Bergerak!).

Macron ingin keluar dari pakem politik tradisional dengan mencoba menghilangkan sekat antara kubu kiri dan kanan demi kemajuan Perancis.

Awalnya, ide ini dianggap tak mungkin, bahkan sampai akhir tahun 2016 gerakannya tak pernah diperhitungkan. Namun, Macron berkeras.

Baca: Inilah Keempat Calon Terkuat Presiden Baru Perancis

Dalam waktu kurang dari setahun, En Marche! memiliki anggota sekitar 250.000 orang.

Macron juga mencalonkan diri sebagai kandidat tanpa dukungan partai politik. Terlepas bahwa Macron "diuntungkan" oleh skandal yang menimpa Fillon, tetapi ia berhasil membuktikan, tak ada yang tak mungkin.

Koalisi

Setelah debat presiden yang berlangsung sangat keras dan panas antara Macron dan Le Pen pada Rabu (3/5/2017) malam, 63 persen pemirsa menyatakan Macron lebih meyakinkan dibandingkan Le Pen.

Pendapat serupa dilontarkan oleh pendukung Melenchon dan Fillon.

Seusai debat, semua jajak pendapat pun mengunggulkan Macron sebagai presiden.

Namun, siapa pun yang terpilih, yang pasti ia akan mengalami kesulitan ketika membentuk pemerintahan karena baik Front Nasional maupun En Marche! diyakini tidak akan memiliki perwakilan yang cukup di parlemen.

Pemilu legislatif akan berlangsung bulan Juni, terlalu pendek bagi En Marche! untuk mempersiapkan calon legislatif yang bertarung memperebutkan 577 kursi majelis rendah.

Baca: Ekstrem Kanan Menguat di Delapan Negara Eropa

Adapun Front Nasional, meski sudah berdiri sejak 1972, perolehan kursi di parlemen masih sangat minim. Mereka hanya meraih dua kursi pada 2012.

Dengan demikian, siapa pun yang terpilih harus melakukan koalisi dengan partai-partai arus utama, yaitu Partai Republik, Partai Sosialis, dan Partai Hijau.

Tak terbayangkan keruwetan yang akan dihadapi oleh pemerintahan mendatang.

Namun, rakyat Perancis sudah menentukan pilihan. Mereka ingin terbebas dari partai mapan.

(Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Mei 2017, di halaman 3 dengan judul "Rakyat Memilih dalam Ketidakpastian")

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com