Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Ini dalam Sejarah: Awal Genosida di Rwanda

Kompas.com - 07/04/2017, 18:15 WIB

KOMPAS.com - Tepat hari ini pada 1994, angkatan bersenjata Rwanda membunuh 10 prajurit pasukan penjaga keamanan PBB asal Belgia.

Pembunuhan ini merupakan upaya untuk mencegah intervensi internsional dalam mencegah genosida yang dimulai beberapa jam sebelumnya.

Hanya dalam waktu sekitar tiga bulan, para ekstremis Hutu yang mengendalikan Rwanda, secara brutal membantai 500.000 hingga 1 juta warga sipil etnis Tutsi dan Hutu moderat.

Genosida di Rwanda ini merupakan episode pembersihan etnis terburuk sejak berakhirnya Perang Dunia II.

Akar dari genosida Rwanda ini bisa diurut balik ke awal 1990-an, ketika Presiden Juvenal Habyarimana, seorang Hutu, mulai menggunakan retorika anti-Tutsi untuk menggalang dukungan dari etnis Hutu.

Pada Oktober 1990, terjadi sejumlah pembantaian terhadap beberapa ratus warga etnis Tutsi.

Meski secara fisik kedua suku ini amat mirip, menggunakan bahasa, dan budaya yang sama selama berabad-abad, tetapi undang-undang mengharuskan regstrasi warga berdasarkan kelompok etnis.

Pemerintah dan tentara kemudian membentuk milisa yang disebut Interahamwe atau bisa diartikan "mereka yang menyerang bersamaan".

Milisi inilah yang kemudian yang mempersiapkan pembersihan etnis Tutsi dengan cara mempersenjatai warga Hutu dengan senjata api dan parang.

Pada Januari 1994, akhirnya pasukan PBB di Rwanda diperingatkan bahwa pembantaian besar-besaran segera terjadi.

Pada 6 April 1996, Presiden Habyarimana tewas saat pesawat yang ditumpanginya ditembak jatuh.

Tak diketahui apakah penembak adalahh Front Patriotik Rwanda (RPF), milisi Tutsi yang berada di luar negeri saat itu, atau para ekstremis Hutu untuk memicu pembantaian massal.

Beberapa jam setelah kematian Presiden Habyarimana, para ekstremis Hutu dan militer yang dipimpin Kolonel Theoneste Bagosora langsung beraksi membunuhi warga Tutsi dan Hutu moderat.

Para prajurit penjaga perdamaian Belgia dibunuh sehari kemudian dan menjadi alasan bagi PBB untuk menarik mundur pasukannya dari Rwanda.

Tak lama kemudian, stasiun-stasiun radio di Rwanda menyiarkan ajakan bagi warga Hutu untuk membunuhi warga Tutsi.

Tentara dan kepolisian kemudian mengarahkan pembunuhan itu, bahkan mengancam warga Hutu yang tak mau terlibat dalam kebiadaban tersebut.

Ribuan orang suku Tutsi tewas dibunuh tetangga, kawan, dan kenalan mereka sendiri.

Kengerian yang terjadi di Rwanda sungguh tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Meski demikian komunitas internasional, termasuk AS, ragu untuk bertindak.

Mereka malah menyebut pembantaian itu hanya sebuah kekacauan di tengah perang antarsuku. Presiden Bill Clinton kemudian mengakui kegagalan pemerintahannya menghentikan genosida tersebut.

Kini nasib Rwanda tergantung pada RPF pimpinan Paul Kagame untuk memulai sebuah kampanye militer untuk menguasai Rwanda dan menghentikan genosida.

Pada musim panas 1994, RPF mengalahkan milisi Hutu dan mengusir mereka keluar negeri. Pada saat itu diperkirakan 75 persen etnis Tutsi di Rwanda sudah tewas terbunuh.

Kini pemerintah Rwanda menetapkan dua hari libur nasional untuk mengenang babak terkelam dalam sejarah negeri itu.

Sempat terpuruk akibat genosida, kini perekonomian Rwanda sudah jauh membaik dengan mengandalkan hasil-hasil pertanian misalnya kopi dan teh.

Sektor pariwisata juga makin berkembang di Rwanda dan menjadi salah satu penghasil devisa terbesar negeri tersebut.

Investasi asing juga semakin meningkat di Rwanda dan pada 2016 negeri ini ditetapkan menjadi negeri kedua terbaik di Afrika sebagai tujuan bisnis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Sumber History
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com