Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Masa Sulit Kaum Miskin Pedesaan Filipina di Era Duterte

Kompas.com - 23/03/2017, 18:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

 

EFREN Cornessa adalah orang paling lembut yang akan pernah Anda temui selama hidup.
Lelaki 61 tahun yang selalu tersenyum dan tabah ini sedang menjalani proses penyembuhan dari sakitnya.

Penyakit tekanan darah tinggi yang dideritanya telah memaksa dia untuk tidak bekerja terlalu lama di bawah terik sinar matahari. Kini Efren hanya mampu bekerja menyapu jalanan Kota Talisay yang terletak di Pulau Negros, Filipina, setiap hari dari jam 4-6 pagi.

Talisay (dikenal dengan nama resmi “Talisay Negros Occidental”) merupakan bagian dari wilayah metropolitan Metro Bacolod.

Ketika saya bertemu Efren pertama kalinya pada November tahun lalu, dia masih menjalankan usaha warung yang terletak di depan rumahnya. Sekali dalam beberapa hari, dia pergi berbelanja stok barang-barang jualannya dari pasar grosir lokal.

Dia menceritakan dengan gembira kisah hidupnya sebagai buruh sambil menuntun kami mengitari jalanan kota di Bacolod.

Pulau Negros dikenal sebagai sentra gula. Pemandangan pulau diwarnai perkebunan tebu yang sangat luas. Pada musim panen, truk-truk besar melewati jalanan mengangkut hasil panen ke pabrik-pabrik.

Dok Karim Raslan Pada masa panen di Filipina, truk dengan muatan berlebihan membawa potongan tebu yang masih segar ke pabrik.
Reformasi lahan atau setidaknya kegagalan reformasi lahan telah menjadi karakter kehidupan di pinggiran kota Pulau Negros. Kepemilikan lahan yang luas masih mendominasi daerah luar kota ini.

Pada zaman dahulu, ratusan jika bukan ribuan buruh tani bekerja di sawah-sawah luas ini. Sebagian bekerja sebagai buruh tetap meski mayoritas hanya bekerja sementara dan dikenal sebagai “sacadas”. Namun, hari-hari kejayaan itu telah berlalu.

Tebu lokal tidak dapat bersaing dengan sirup jagung yang diimpor dari negara lain. Industri tebu juga telah mengurangi pekerjanya. Banyak dari pekerja tersebut menemui kesulitan untuk mendapat pekerjaan lain.


Setelah Duterte terpilih

Tim saya, rekan-rekan dari Ceritalah telah mengunjungi dan berbincang dengan Efren dan keluarganya sejak September tahun lalu, hanya 2 bulan setelah Rodrigo Duterte dilantik sebagai Presiden pada Juni 2016.

Efren, istrinya Evelyn dan keempat anaknya adalah pendukung Duterte. Mereka miskin, tidak mempunyai lahan namun pekerja keras. Efren juga mendukung “Perang terhadap Narkoba” yang diinisiasi Presiden Duterte.

Dok Karim Raslan Efren bersama dengan istrinya, Evelyn, membuka kios sari- sari di depan rumah mereka di Filipina. Kiosnya saat ini tutup karena kekurangan modal.
Dia mulai bekerja saat berumur 14 tahun dan menyiangi lahannya selama enam tahun dengan alat yang sederhana. Dia masih menyimpan satu dari alat tersebut di rumahnya sebagai kenang-kenangan atas kerja kerasnya selama bertahun-tahun sebagai buruh.

Ayah dan kakeknya bekerja pada lahan yang sama yang berjarak 30 menit dari kota.
Keluarganya telah hidup di lahan yang sama selama 4 generasi tanpa mengeluarkan uang sewa sepeserpun.

Pola kehidupan ini merupakan bagian dari hubungan yang rumit antara pekerja dan tuan mereka di daerah ujung Filipina yang mempunyai kemiripan dengan sistem feodal.

Meskipun demikian, anak-anak Efren mampu meraih kesuksesan melalui upaya mereka masing-masing. Anak perempuan pertamanya, Emy telah menikah dengan Neil, seorang insinyur di pabrik pengolahan tebu, dan mereka dianugerahi seorang anak perempuan.

Ramiel menjual makanan rumahan di sebuah restoran lokal, sementara Efren Junior kuliah Ilmu Komputer di Universitas Teknologi Filipina. Anak laki-laki Efren yang paling kecil, Janry, masih duduk di bangku SMA.

Namun sekarang, Efren terpaksa harus meninggalkan ladang kecilnya yang telah dianggap keluarganya sebagai rumah sendiri.

Pemilik lahan telah memberikan pilihan alternatif kepada Efren untuk pindah ke tempat yang berjarak 7-8 kilometer dari kota.

Tempat tersebut terletak di wilayah terpencil tanpa akses listrik ataupun air. Meskipun anak-anaknya telah mampu membiayai hidupnya masing-masing, Efren tidak mempunyai uang untuk membangun tempat tinggal baru.

Istri Efren, Evelyn yang merupakan seorang lulusan universitas, kurang setuju dengan kepindahan mereka.

Dok Karim Raslan Suasana tempat tinggal di perkebunan plasma di Filipina. Orang-orang di lingkungannya dipaksa oleh pemilik hacienda untuk meninggalkan perkebunan plasma yang mereka sebut rumah.
Ketika kami menemui keluarganya untuk pertama kali, Evelyn masih tinggal di Talisay. Namun sekarang, setelah 6 bulan berlalu dan dihadapkan pada kebutuhan uang karena penyakit Efren, Evelyn pindah ke Manila dan bekerja sebagai pembantu.

Dia protes dengan situasi keluarganya, terlebih lagi sejak Efren hanya bisa menjadi penyapu jalanan demi bertahan hidup. Dia mengatakan, “Kami tidak mempunyai uang untuk pindah ke tempat baru. Saya hanya dapat menyaksikan mereka menghancurkan rumah yang telah kami bangun. Tidak ada pekerjaan di Bacolod. Kami harus pindah ke Manila.”

Ketika ditanya apakah kebijakan Presiden Duterte telah membantu kehidupannya di daerah, dia tidak setuju dan berkata, “Tidak ada perkembangan di Bacolod. Tidak ada bedanya. Kebijakan Duterte masih belum bisa memperbaiki kualitas hidup saya atau orang lain di desa saya. Dia seharusnya tidak hanya fokus pada narkoba. Dia harus juga menangani kemiskinan.”

Duterte menerima mandat sebagai Presiden setelah dia dinilai mampu memberikan kualitas hidup yang lebih baik bagi keluarga-keluarga seperti keluarga Cornessa.

Rencana Pembangunan Filipina 2017-2022 yang diusulkan oleh pemerintahannya bertujuan mengurangi kemiskinan di pedesaan sebesar 20 persen pada 2022 dari 30 persen pada 2015.

Berbagai diskusi telah banyak dilakukan untuk membahas soal prioritas proyek infrastruktur pemerintah di luar Metro Manila. Duterte bulan lalu menyatakan komitmennya untuk memperbaiki upaya reformasi lahan, menjanjikan para petani tidak hanya lahan tapi juga bibit dan pupuk.

Sekitar 2 miliar peso dialokasikan dari anggaran pemerintah pusat untuk upaya irigasi gratis.
Tetapi jika kita melihat kondisi sulit keluarga Cornessa, komitmen Duterte nyatanya belum memberikan dampak yang signifikan.

Seperti yang diketahui banyak orang, Duterte menerima amanah kekuasaan dari dukungan suara orang-orang seperti Cornessa.

Setelah 9 bulan berlalu dan mendengar pendapat dari para pendukung fanatiknya, berbagai perbaikan yang dijanjikan Duterte belum terealisasi. Melihat banyaknya pihak yang telah menaruh ekspektasi tinggi, perubahan hanya tinggal menunggu upaya pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com