Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/02/2017, 15:24 WIB
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir

Penulis

KOMPAS.com - Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz (81), Sabtu (25/2/2017) malam, meninggalkan ibu kota Riyadh untuk lawatan panjang ke sejumlah negara Asia selama satu bulan, dari akhir Februari hingga akhir Maret.

Raja Salman naik takhta pada 23 Januari 2015, menggantikan kakak tirinya, Raja Abdullah bin Abdulaziz, yang wafat pada hari itu juga.

Negara-negara yang dikunjungi adalah Malaysia, Indonesia, Brunei, Jepang, China, Maladewa, dan berakhir dengan menghadiri KTT Liga Arab di Amman, Jordania, akhir Maret nanti.

Ini lawatan terpanjang dan pertama kali dalam sejarah perjalanan Raja Arab Saudi ke luar negeri dengan mengunjungi banyak negara sekaligus.

Dalam lawatan panjang itu, Indonesia merupakan negara yang paling lama dikunjungi, dari 1 Maret hingga 9 Maret atau hampir sepertiga dari jadwal waktu perjalanan tersebut.

Keberadaan Raja Salman yang cukup lama di Indonesia lantaran misi kunjungan ke negara kepulauan ini adalah kombinasi antara kunjungan resmi kenegaraan dan wisata.

Agenda Raja Salman di Indonesia pun terbagi antara di Jakarta sebagai kunjungan resmi dan ke Bali untuk pelesiran.

Dalam perjalanan panjang itu, Raja Salman membawa rombongan "jumbo" sekitar 1.500 orang yang terdiri dari para pejabat tinggi dan keluarga Dinasti Al-Saud.

Rombongan besar ini diangkut enam pesawat Boeing dari berbagai tipe, seperti Boeing 747-400 dan 737-800.

Seperti yang sudah-sudah, setiap kunjungan Raja Salman ke mana pun selalu menarik perhatian masyarakat luas, terutama karena jumlah rombongannya yang gigantik.

Saat mengunjungi Mesir dan Turki pada April 2016, dia juga membawa rombongan raksasa 1.000 orang, termasuk 100 mobil mewah.

Demikian pula saat Raja Salman berlibur ke Perancis dan Maroko pada musim panas 2015 juga membawa rombongan sekitar 1.000 orang.

Sudah tradisi

Rombongan "jumbo" yang biasa mendampingi perjalanan raja ke luar negeri sudah menjadi tradisi negara itu sejak era 1970-an, persisnya pasca perang Arab-Israel tahun 1973.

Aksi embargo minyak dari negara-negara Arab terhadap negara-negara pendukung Israel pada perang 1973 itu membuat harga minyak di pasaran dunia melejit berlipat-lipat dan dikenal dengan krisis minyak 1973.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com