Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Poklong Anading: Menemukan Seni dalam "Kekacauan" Manila

Kompas.com - 18/02/2017, 20:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Poklong Anading adalah seorang seniman Filipina berusia 41 tahun dengan rambutnya yang lebat bergelombang dan sikapnya yang amat pemalu.

Ia tinggal di sebuah komplek bersama sejumlah artis dan desainer lainnya di pemukiman Cubao – sekitar 10 km dari kawasan gedung-gedung pencakar langit, Makati dan Bonifacio Global City.

Di bawah studionya yang rapi dan bergaya zen terdapat bengkel dan workshop mirip gambaran Dickens.

Semuanya terlihat kacau: orang berlalu lalang, papan, besi batangan dan kaleng cat yang berserakan, serta tampak tong-tong besar berisi resin.

Para pengrajin membuat, memoles, dan kemudian menyimpan karya seni ukiran, dan instalasi di saat malam tiba.

Pernah muncul dalam buku "No Chaos, No Party: 28 Artists in Metro Manila" (disusun oleh Valeria Cavestany dan disunting oleh Eva McGovern-Basa), dan turut berpartisipasi dalam Pameran Seni Filipina 2017 yang tengah berlangsung, Poklong dikenal sebagai salah satu artis kontemporer berbakat yang luar biasa di Filipina.

Menempuh studi di Universitas Filipina di bawah bimbingan Roberto Chabet (seorang seniman konseptual dan administrator seni), Poklong adalah salah satu murid sang maestro yang paling menonjol.

Walaupun demikian, tak seperti umumnya seniman Filipina yang dipengaruhi oleh gaya Kastilian/Katolik yang mengakar (bayangkan sebuah ukiran gading dan ikonografi Kristen) dipadu dengan tradisi mural Meksiko yang populis dan seringkali anti-klerikal dari era 1920 (seperti karya-karya Diego Rivera dan Frida Kahlo), Poklong tetap fokus pada aliran yang hampir sama dengan yang dianut seniman konseptual Jerman, Joseph Beuys dan sekolah Arte Povera Italia.

Bagaimanapun, Poklong adalah seniman yang amat Filipina. Lingkungannya telah membentuk karya-karya seninya, dan Manila telah memberinya pengaruh yang kuat.

Meski dia harus berjuang menghadapi banjir, topan, dan gempa bumi – termasuk serentetan pembunuhan di luar pengadilan yang saat ini terjadi – dia tetap terpesona dengan segala energi dan kegembiraan yang dimiliki kota Manila.

Memang, dalam beberapa tahun terakhir, dengan angka pertumbuhan PDB yang memecahkan rekor dan kembalinya para ekspatriat Filipina dari berbagai wilayah di dunia, pertumbuhan Manila meningkat tajam – hingga mampu merebut kembali posisinya sebagai salah satu kota yang berpikiran terbuka, kreatif, dan dinamis di Asia.

Namun, meskipun memiliki gemerlap kosmopolitan – mal dan kasino yang baru dibuka – kota ini berevolusi sangat fantastis dan mengejutkan (tak seperti karya Italo Calvino "Invisible Cities"): dua puluh satu juta orang berhimpit-himpitan di daratan sempit antara Manila Bay di sebelah barat dan Danau Laguna di sebelah timur.

"Semula saya mengira karya saya dapat berasal dari mana saja, tetapi saat ini ketika saya bertambah tua, saya sadar bahwa karya-karya ini merespon dengan cara yang sangat reflektif terhadap kota."

"Manila tak menjadi lebih baik. Ia terus-menerus meluas dan lalu lintas menjadi lebih buruk. Udaranya kotor. Polusi seperti memenuhi raga saya! Saya sadar saya ingin pergi saja, tapi di lain pihak, kota ini juga menguatkan saya."

Poklong sangat terpesona dengan ruang dan segala sesuatu yang disisakan manusia.
Ia seolah terserap oleh sisa-sisa kehidupan sehari-hari, seperti limbah dan sampah: "Saya menjadi sedikit terobsesi oleh sistem limbah, bagaimana mereka berproses dan lalu terpisah menjadi limbah padat dan cair."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com