Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

U Tin Win: Muslim Myanmar Merenungkan Masa Depan

Kompas.com - 02/02/2017, 18:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

PADA 29 Januari 2017, U Ko Ni, seorang Muslim berusia 65 tahun yang juga pengacara terkenal di Myanmar ditembak mati di Bandara Internasional Yangon. Penasihat hukum untuk partai paling berkuasa di Myanmar, NLD ini baru saja kembali dari perjalanan ke Indonesia. 

Ko Ni yang pernah menjadi tahanan ini juga seorang aktivis dan pakar konstitusi. Dia pernah membantu Aung San Suu Kyi dalam menciptakan posisi yang saat ini didudukinya sebagai "Penasihat Negara."

Dia juga dipandang sebagai pendukung upaya perombakan Konstitusi Myanmar yang diciptakan pada 2008. Oleh karena itu, dia dilihat sebagai oposisi oleh kelompok militer di Myanmar yang dikenal sangat konservatif.

Ribuan orang mendatangi prosesi pemakaman Ko Ni di kota Okkalapa Utara. Para pengamat dalam hati bertanya-tanya apakah pembunuhan ini disebabkan afiliasi politik dengan NLD atau karena alasan religi mengingat dia beretnis kelompok muslim?

Peristiwa pembunuhan itu terjadi di saat yang sangat buruk bagi masyarakat Myanmar. Penganiayaan terhadap etnis Rohingya di Provinsi Rakhine telah mengundang kecaman yang sangat dahsyat dari masyarakat internasional. Pembunuhan itu mungkin telah menghancurkan sisa kepercayaan yang ada antara etnis mayoritas Buddha dan minoritas Islam.

Saya berada di Yangon beberapa hari sebelum pembunuhan itu terjadi, untuk bertemu dengan seorang muslim. Saya ingin mencari tahu tentang perselisihan antara etnis Buddha dan Islam yang telah muncul sebagai suatu masalah yang sangat sulit untuk diselesaikan di Asia Tenggara.

Orang yang saya temui bernama U Tin Win, seorang supir berusia 71 tahun yang memiliki jenggot tebal dan postur tubuh yang tinggi. Dia lahir di Mandalay, tetapi bersama istri, 8 anak dan 18 cucunya, dia telah lama tinggal di Yangon. Tin Win, yang memiliki nama Muslim "Mohamad Esa", hanya bisa berbicara bahasa Myanmar.

Ayahnya yang seorang muslim India adalah pekerja kereta api, sedangkan ibunya meninggal sewaktu dia masih bayi. Dia tidak menyukai pengalamannya ketika dia belajar di sekolah berbahasa Inggris. Dia pun bercerita, "Saya hidup dengan putus asa. Tetapi setidaknya saya masih mempunyai nenek."

Tin Win sangat gemar dengan truk. Kegemarannya ini kemudian menjadi mata pencahariannya setelah dia mengabdi di militer selama 4 tahun sebagai operator radio di Negara Bagian Chin. Ketika dia sedang menceritakan kisah hidupnya, neneknya datang dengan mengendarai truk untuk menjemputnya.

"Dahulu, bergabung dan meninggalkan militer jauh lebih mudah." Dia mengatakannya dengan senyuman.

KARIM RASLAN U Tin Win dan keluarganya.
Tin Win pun mulai tertawa ketika dia menceritakan hidupnya sebagai supir truk. Dia menyukai kebebasan yang dirasakannya ketika dia berada di jalan. Selama 35 tahun, dia menjelajah dari daerah utara ke selatan dan dari timur ke barat, mengunjungi setiap provinsi di Myanmar terkecuali Kachin di utara.

Petualangan tidaklah sedikit. "Setelah Ne Win mengambil kendali pemerintah pada 1962, segala sesuatu menjadi lebih sulit untuk semua orang. Saya ingat ketika suatu kali berjalan melintasi perbatasan ke Imphal. Saya membawa bawang bombay, kentang, dan bawang putih yang kemudian saya tukar dengan pakaian dan rempah-rempah. Perjalanan balik dari sana sangat menyusahkan. Banyak pos pemeriksaan dan saya harus memberi banyak uang suap. Saya bersumpah tidak akan melakukannya lagi."

Ketika saya membentangkan peta yang besar di hadapannya, dia menunjukkan kota-kota dan provinsi-provinsi yang dia telah kunjungi selama beberapa dekade dan menyebutkan namanya satu per satu. Bagi saya, bunyi nama-nama itu terdengar sangat magis: Monywa, Sittwe, Dawei, Mawlmyine, Lashio, dan Taunggyi.

Dan ketika saya sedang mendengarkannya, saya tiba-tiba menyadari kebanggaan Ti Win terhadap negerinya. "Banyak Muslim telah tinggal di Myanmar selama berabad-abad. Kami melayani Raja dan kami diterima sebagai warga negara."

Namun dia juga merasa sedih mengingat realita yang dialami Myanmar akhir-akhir ini.
"Saya sangat sedih atas apa yang dialami etnis Rohingya… tetapi ada beberapa perbedaan antara kami. Walaupun banyak yang bisa berbicara bahasa Myanmar, banyak juga yang tidak bisa. Mereka ini pastinya datang dari Banglades."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com