Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mariam, Mahasiswi yang Kuliah Jarak Jauh dari Aleppo ...

Kompas.com - 02/02/2017, 06:08 WIB

KOMPAS.com - Mariam Hammad adalah seorang perempuan asal Aleppo yang berupaya untuk tetap menjadi mahasiswi di tengah berkecamuknya perang saudara dan kelamnya kehidupan di Suriah.

"Kota saya telah berubah menjadi reruntuhan," kata dia.

Hidup dalam bahaya, dan tanpa pasokan air bersih dan listrik saat mengungsi, tak menyurutkan langkah perempuan berusia 22 tahun untuk menjadi mahasiswi.

Empat tahun lalu, ia baru saja lulus dari sekolah menengah dan mulai kuliah di Universitas Aleppo ketika gedung itu dihantam roket. Ada puluhan mahasiswa yang tewas kala itu.

"Saya melihat teman-teman tewas dan sampai sekarang saya masih belum bisa melupakan kejadian tersebut," ujar Mariam.

"Saya melihat banyak mahasiswa terluka dan cedera. Ada darah, kematian. Segala sesuatunya terlihat mengerikan."

Semuanya hancur

Selain di tempat belajar, bahaya juga mengintai di rumah saya. "Kematian menghampiri saya berkali-kali," kata Mariam.

"Saya beserta keluarga menyewa sebuah rumah yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari garis depan, dan banyak roket dijatuhkan di lingkungan saya," sebutnya.

"Banyak tetangga saya yang terbunuh, dan mortir menghantam rumah saya dua kali."

Ia ingat saat dirinya terbangun selama serangan, ia tidak bisa melihat apa pun, kecuali debu dan kegelapan. "Saya jadi tidak tahu siapa yang hidup atau pun mati," sebutnya.

Mariam berbicara tentang kehidupan di Aleppo yang berubah menjadi menakutkan dan sangat berbahaya. 

"Saya sering menangis saat melihat keadaan kota saya di depan mata, semuanya hancur," kata dia.

Memilih untuk optimistis

Namun, situasi peperangan ini membuatnya bertekad untuk melanjutkan dan menggunakan ilmunya sebagai cara untuk menghormati mereka yang telah meninggal.

Ia menjadi seorang mahasiswi "online" dari medan peperangan, menyusul program gelar yang dijalankan oleh universitas yang berbasis di AS yaitu University of People.

Hal ini, diakui Mariam, membuatnya sadar untuk menjadi seorang yang optimistis dan menciptakan rencana untuk bangkit kembali.

Namun, ini bukanlah hal mudah, kata dia, saat dihubungi lewat saluran video Skype.

"Jika ditanya apa hal tersulit menjadi seorang mahasiswa di Aleppo? Jawabannya adalah bagaimana tetap hidup di tengah-tengah peperangan," kata Mariam.

Sesekali masih ada roket dan ledakan mortir, meskipun sudah dilakukan gencatan senjata.

Selain kitu, ada juga masalah praktis besar yang akan mengganggu mahasiswa yang kurang berkemauan keras.

Tidak ada pasokan listrik

"Kami hidup tanpa aliran listrik selama dua tahun," kata dia.

Sebagai gantinya, orang-orang di sini mengandalkan genset yang mungkin beroperasi selama beberapa jam dalam sehari.

Mariam mendatangi toko setempat yang dilengkapi dengan genset kecil, di sana bisa mengisi batere ponsel dan laptop tuanya. Dia bisa menghemat baterai laptop sehingga ia bisa belajar.

Koneksi internet juga lambat. Bahkan, ketika waktu ujian sudah dekat, jaringan internet dimatikan.

Khawatir gagal dalam ujian, Mariam mulai melakukan persiapan untuk pergi ke Damaskus agar bisa mengikuti ujian.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com