Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Penanam Bunga dari Nam Dinh

Kompas.com - 15/12/2016, 14:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

"Pada 1971, hujan deras menyebabkan tanggul Sungai Merah jebol sehingga desa kami kebanjiran. Tinggi air di beberapa wilayah mencapai tiga meter. Segala sesuatu hancur. Kami mengalami kebanjiran parah setiap tahun setelah itu, sampai mereka membangun kembali tanggul di sekitar sungai."

Nguyen Van Phuong adalah seorang veteran perang berumur 78 tahun dengan perawakan kurus dan rahang yang berbentuk persegi. Seusai mengabdikan dirinya sebagai tentara dan melayani di Laos dan Vietnam Selatan, dia sekarang telah pensiun dan tinggal bersama istrinya, Tr?n Th? Doan, di rumahnya yang mempunyai tiga lantai.

Bapaknya juga seorang tentara yang sempat berperang melawan Perancis pada Perang Dunia I sebelum kembali ke desanya dan bekerja sebagai petani.

Saya bertanya, apakah dia pernah membayangkan dirinya bisa hidup senyaman sekarang. Dia menggelengkan kepalanya.

"Selama perang, yang terlintas dalam pikiran saya hanyalah hidup atau mati. Suatu hari saya berbincang dengan teman baik saya dan keesokan harinya dia meninggal. Semuanya hanya mengenai bagaimana kami bertahan hidup."

"Saya merasa bersyukur bahwa pada 1980 (setelah perang) pemerintah merevisi kebijakan-kebijakannya. Kami semua sangat miskin pada saat itu. Mereka menghentikan praktik kolektivisme dan semua bentuk subsidi. Mereka sebaliknya mengizinkan kami untuk memiliki properti, berdagang dan menjalankan pasar yang bebas, mereka menyediakan jalan bagi kami untuk hidup seperti sekarang ini."

Phù Long adalah sebuah desa dengan jumlah penanaman bunga terbesar di ibu kota provinsi Nam Dinh – salah satu pusat terbesar bagi jutaan orang Vietnam beragama Katolik. Menanam bunga aster, krisan, lili dan mawar terbukti lebih menguntungkan daripada menanam tanaman pertanian seperti padi, sayuran atau kacang kedelai.

An – berumur 43 tahun – adalah salah satu dari enam anak Phuong. Tinggal di sebelah rumah bapaknya, rumahnya yang sederhana sedang dalam renovasi.

Peralatan kerja tersebar di sepanjang jalan masuk rumahnya – ada baskom setengah kosong, kuas dan kotak kardus. Dua laki-laki muda sedang melukiskan tembok rumahnya: sebuah pemandangan pedesaan. Seisi rumahnya bergema dengan musik.

An tersenyum dan menganggukan kepalanya ketika saya bertanya apakah dia menyukai musik. Kami berusaha berbincang di tengah nyanyian-nyanyian lagu sentimental.

"Pendapatan saya sekitar 7 juta dong (308 dolar AS) per bulan. Itu cukup besar namun dengan kerja keras. Anda tidak bisa memelihara ladang jika Anda tidak sehat. Kebanyakan orang hari-hari ini tidak mau mengotorkan tangan mereka! Tentunya bukan anak perempuan saya. Dia bekerja di pabrik tekstil Song Hong."

"Pada masa lalu, orang-orang membeli bunga untuk perayaan Tet (Tahun Baru Vietnam) atau ulang tahun. Kalau sekarang, selalu ada permintaan untuk bunga sepanjang tahun. Orang-orang membelinya untuk persembahan di kuil, kado dan sebagainya. Kami hanya menjualnya di provinsi-provinsi terdekat, Ninh Binh dan Ha Nam. Kami tidak bisa menyaingi produsen bunga dari Dalat. Mereka menguasai pasar Hanoi."

"Dulu saya membeli biji bunga dari Universitas Pertanian Hanoi tapi sekarang saya menumbuhkan biji bunga sendiri dan menjualnya ke petani-petani lain. Saat musim dingin kami harus sering melapisi bunga-bunga kami dengan plastik supaya hangat dan lembab. Bunga lili sangat rentan tetapi dapat dijual dengan harga yang tinggi pada saat perayaan Tet."

KARIM RASLAN Phuong dan istrinya.
Saya menanyakannya tentang saudara-saudara kandungnya. "Dua dari saudara kandung laki-laki saya tinggal di Polandia. Mereka telah hidup di sana lebih dari 20 tahun. Yang satu menikah dengan perempuan Polandia dan yang satunya lagi dengan perempuan Vietnam. Penghasilan mereka berasal dari berdagang dan bisnis kecil."

Meskipun An suka musik dan lukisan, dia sama sekali tidak romantis, "Hidup saya sekarang sudah cukup nyaman. Berbeda dengan 20 tahun lalu yang segala sesuatunya sangat sulit. Tapi yang paling penting adalah saya bekerja sendiri, tidak ada majikan! Namun begitu, saya mempunyai banyak impian untuk anak-anak saya. Saya ingin mereka hidup bebas. Saya senang mereka bisa bekerja di luar negeri. Mereka punya penghasilan lebih besar sementara pekerjaan berkebun ini membahayakan kesehatan karena pestisida."

Dengan pertumbuhan ekonomi nasional lebih dari 6,5%, petani-petani Vietnam pun merasakan dampak positif terhadap pendapatan mereka.

Setelah menjalani hidup dengan melewati berbagai macam kemiskinan – pada pertengahan 1980-an pendapatan PDB per kapita hanya kurang dari 100 dolar AS per tahun – kemakmuran seperti sekarang ini sangat dinanti-nanti oleh semua orang Vietnam.

Selain itu, keteguhan hati mereka untuk bekerja lebih keras dibandingkan mayoritas negara Asia Tenggara lainnya dengan bayaran yang lebih rendah, menandakan Vietnam sebagai kompetitor yang kuat di kawasan dalam hal industri dan pertanian. Produksi bahan pokok seperti beras, kopi dan lada, telah meningkat secara signifikan.

Meskipun demikian, ada tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Kabut asap yang menutupi lembah Sungai Merah sepanjang hari dan ancaman polusi di Vietnam Tengah semakin menyadarkan masyarakat akan kerusakan lingkungan dan dampaknya bagi kesehatan mereka.
Namun, tidak seorang pun di Phu Long yang ingin kembali ke masa lalu. Seorang teman berbicara kepada saya ketika sedang duduk di jalan di Hanoi: "Kami mungkin punya masalah tetapi setidaknya kami tidak seperti Kuba!"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com