Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Yusa Djuyandi
Dosen dan Peneliti

Dosen Ilmu Politik Universitas Padjadjaran dan Peneliti Pada Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi)

Meneropong Kebijakan Pertahanan Donald Trump dan Dampaknya Bagi Indonesia

Kompas.com - 14/11/2016, 06:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorFidel Ali

Rangkaian proses demokrasi di Amerika Serikat dalam pemilihan presiden baru saja selesai dilakukan, hasilnya adalah cukup mengejutkan sebagian masyarakat Amerika dan bahkan dunia.

Pemilihan Presiden di Amerika Serikat, meskipun diklaim sebagai proses pemilihan yang demokratis, namun memiliki sistem yang berbeda dengan beberapa negara demokratis lainnya.

Alasannya adalah pemenang dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak (popular vote), melainkan pada perolehan suara dari perwakilan masing-masing negara bagian (electoral votes).

Dalam electoral votes, di mana pemenang pemilihan presiden akan ditentukan oleh mereka yang sebelumnya terpilih menjadi perwakilan dari masing-masing negara bagian, dianggap kurang mencerminkan realitas demokrasi yang sesungguhnya.

Para individu yang sebelumnya dipilih untuk mewakili suara masyarakat dan partai politik di setiap negara bagian, pada pelaksanaan pemilihan presiden belum tentu memiliki pilihan yang sama dengan konstituen yang diwakilinya.

Sebagai contohnya adalah adanya perbedaan suara antara popular votes dengan electoral votes. Dalam popular votes calon presiden Amerika dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, memperoleh 60.122.876 suara, sedangkan pesaingnya dari Partai Republik, Donald Trump, hanya memperoleh 59.821.874 suara. Namun demikian dalam elevtoral votes, Trump berhasil mendapatkan 279 suara, dibandingkan dengan Hillary yang hanya mendapatkan 228 suara.

Kemenangan Hillary Clinton dalam popular votes tentunya membuat sebagian warga negara Amerika Serikat berani untuk menolak Trump sebagai presiden, meski sesungguhnya secara konsensus Amerika Serikat telah menetapkan dalam undang-undangnya tentang penggunaan electoral votes.

Keberanian penolakan sebagian warga negara Amerika terhadap Trump tidak hanya didasari oleh peraihan suara sesungguhnya (popular votes), melainkan juga karena adanya kekhawatiran terhadap beberapa kebijakan yang akan dikeluarkan Trump jika sudah secara sah menduduki kursi kepresidenan.

Kontroversial

Bagi sebagian besar masyarakat Amerika Serikat, sosok Trump memang dikenal sebagai tokoh yang kontroversial, hal ini setidaknya bisa terlihat dari pidato-pidatonya semasa kampanye pemilihan presiden.

Karena pidatonya yang cenderung kontroversial itulah, maka mayoritas masyarakat Amerika Serikat tidak memilih Trump, hal ini setidaknya dapat dilihat dari popular vote. Bagi sebagian kalangan Republik sendiri bahwa kemenangan Trump adalah sesuatu yang menurut mereka adalah di luar dugaan, sebab beberapa di antara mereka juga tidak menyukai gagasan Trump.

Sebagaimana kelompok dari pakar keamanan nasional Partai Republik, yang salah satunya adalah Michael Hayden (mantan Direktur CIA), yang pernah melayangkan protes terhadap Trump. Hayden menganggap Trump sebagai kandidat presiden yang intoleran dan sembrono.

Sedangkan bagi sebagian kalangan Demokrat bahwa Trump dilihat sebagai sosok yang rasis dan cenderung proteksionis.

Di antara kalimat Trump yang bisa dianggap kontroversial adalah konteks kalimat “Make America Great Again”, yang mengindikasikan adanya suatu rencangan kebijakan yang menginginkan Amerika kembali besar dan kuat. Dalam konteks inilah maka salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah kebijakannya kelak dalam bidang pertahanan.

SPENCER PLATT / GETTY IMAGES NORTH AMERICA / AFP Sebagian warga AS yang tak menerima kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden berkumpul di sebuah taman di New York.

Tidak dipungkiri bahwa Trump kemungkinan besar akan mewarisi tradisi Presiden Amerika Serikat terdahulu, George Walker Bush, yang juga sama-sama berasal dari Partai Republik dan memiliki orientasi yang besar atas kebijakan pertahanan. Apa yang kemudian direncanakan oleh Trump dalam kebijakan pertahanan itu adalah salah satunya dengan menambah anggaran militer Amerika Serikat, dan mengizinkan Jepang dan Korea Selatan untuk mempunyai senjata nuklir.

Terkait dengan rencana penambahan anggaran pertahanan, Trump memiliki obsesi yang sama dengan Bush. Jika pada masa pemerintahan Obama kebijakan anggaran pertahanan cenderung berkurang dari presiden sebelumnya, George W. Bush, maka saat ini Trump akan bersiap menambah anggaran pertahanan yang sebelumnya justeru dikurangi oleh Obama.

Sebagaimana dilansir oleh Forbes bahwa Trump siap mendongkrak total anggaran belanja militer antara 500 miliar dollar AS hingga 1 triliun dollar AS. Belum lagi penambahan jumlah pasukan Amerika Serikat di masa Trump diprediksi akan jauh lebih besar dibandingkan dengan masa pemerintahan Obama, yaitu jika Obama hanya menambah jumlah pasukan sebesar 480.000 maka Trump akan menambah sampai 540.000 tentara.

Orientasi Trump dalam bidang militer memang dapat dikatakan besar, sebab dirinya juga mempunyai obsesi untuk terus memodernisasi pertahanan nuklir, yang berarti hal ini juga memunculkan potensi ancaman yang besar bagi stabilitas keamanan dunia.

Dengan kata lain apa yang dikatakan oleh Trump sebagai “Make America Great Again” adalah berarti juga memperkuat kembali kekuatan Amerika dalam bidang pertahanan, yang tujuannya bisa jadi membuat negara-negara lain di dunia harus merasa segan.

Sikap Indonesia

Adanya rencana presiden Amerika Serikat terpilih, Donald Trump, untuk menjadikan kembali Amerika sebagai negara yang besar dan disegani, terutama dengan memperkuat kembali pertahanannya, maka diprediksi akan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap peran dan posisi Indonesia.

Sebagaimana pernah terjadi pada masa pemerintahan Bush yang banyak mengedepankan agresi terhadap negara-negara di Timur Tengah, maka pada saat itu Indonesia berada pada posisi yang tegas menolak langkah agresi Amerika.

Demikian juga seharusnya sikap Indonesia ke depan, yaitu dengan tetap memilih sebagai negara yang mengedepankan perdamaian dan pendekatan persuasif dalam mengatasi konflik atau permasalahan yang terjadi di tingkat internasional.

Pendekatan prinsip perdamaian yang dijalankan Indonesia juga setidaknya perlu disertai dengan sikap kritis, jika di masa yang akan datang Pemerintah Amerika Serikat yang dipimpin Trump lebih mengedepankan perang dalam mengatasi persoalan.

Indikasi sikap agresif kebijakan Trump sendiri sebenarnya sudah dapat terlihat ketika dirinya menyinggung tentang perang melawan Iran, dan langkah-langkah tegas yang perlu diambil dalam menyelesaikan krisis di Iraq dan Suriah.

Kembali kepada sikap kritis pemerintah Indonesia, hal itu diperlukan mengingat langkah militer dengan segala bentuknya lebih banyak menimbulkan implikasi negatif terhadap kehidupan masyarakat sipil.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com