Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Monster Menakutkan Itu Bernama Donald Trump...

Kompas.com - 10/11/2016, 08:54 WIB

KOMPAS.com - Pagi hari setelah Donald Trump dinyatakan memenangi pemilihan Presiden Amerika Serikat, Yasmeen Shehab terbangun karena tangis anaknya. 

Ibu asal New Jersey itu terperanjat, ketika tiba-tiba anak perempuan berusia 10 tahun melompat ke dalam pelukannya sambil menangis. 

"Presiden Trump akan melarang kita dan membuat kita meninggalkan Amerika," ungkap putri Shebab di tengah tangisnya.

Meskipun Shehab dan keluarga Muslimnya terlahir di AS, namun ketakutan akan ancaman deportasi tetap saja menghantui.

"Ke mana kita akan pergi?" kata bocah itu sambil memeluk bundanya lebih erat. 

Ya, selama beberapa bulan di masa kampanye calon presiden AS, Donald Trump seolah telah menjelma menjadi monster yang menakutkan bagi kelompok masyarakat tertentu di AS.

Berkali-kali, pengusaha kaya raya itu menyerukan niatnya untuk melakukan deportasi terhadap imigran gelap dan membatasi pengungsi Muslim di AS, jika dia terpilih menjadi presiden.

Retorika penuh kemarahan yang selalu didengungkan Trump tentang anti imigran, dan dukungan kaum nasionalis kulit putih, sungguh menakutkan bagi warga imigran dan kaum minoritas di AS. 

Baru satu hari saja, dampak buruk kemenangan Trump sudah dirasakan kaum minoritas.

Beberapa pekerja imigran melaporkan, anak-anak mereka diejek, dilecehkan, dan mengalami intimidasi etnis di sekolah. Mereka pun terpaksa dipulangkan lebih cepat.

Sejalan dengan itu, para orangtua dan sejumlah advokat turun ke lapangan untuk menenangkan warga.

Mereka berusaha meyakinkan warga, bahwa Trump tak mungkin membatalkan sejumlah kebijakan imigrasi yang telah dicapai oleh Presiden Barack Obama.

Sejumlah pakar pun mengingatkan, menemukan dan mendeportasi 11 juta imigran ilegal di negara itu akan membutuhkan logistik dan biaya yang sangat besar.

Tentang kondisi ini, tim kampanye Trump tak memberikan komentar. 

Namun, Lorena Gonzalez, anggota parlemen Demokrat dari San Diego mengungkapkan pandangan yang cukup menakutkan.  

"Pemerintah saat ini telah memiliki daftar mereka yang berada di AS tanpa dokumentasi, nama mereka, alamat, berapa lama mereka tinggal, di mana mereka bekerja," ungkap Gonzalez.

Sementara itu, ada seorang warga AS yang dilahirkan di Pakistan, Sana Altaf, yang hidup di New York di bawah program perlindungan.

Perempuan itu mengaku, orangtuanya adalah penduduk legal dan aman untuk tetap tinggal di AS. Namun, dia mengkhawatirkan statusnya sendiri. 

"Sepanjang malam, hingga pagi ini saya hanya bisa menangis," kata dia.

"Rasanya seperti ada yang mengatakan kepada saya, bahwa saya tak disambut baik di negeri ini," sebut Altaf. 

Menakutkan tapi tak realistis?

Thomas Saenz, Presiden dan Penasihat Umum dalam lembaga hukum pembela warga Meksiko-Amerika di Los Angeles, mengaku, organisasinya saat ini sedang kerepotan.

Saenz menyebut, lembaganya berkali-kali melayani penelepon dan meminta mereka untuk tetap tenang.

Hampir semua telepon yang masuk mengkhawatirkan perlindungan dan perhatian terkait isu deportasi terhadap 11 juga warga ilegal di AS. 

"Retorika Trump sangat menakutkan," kata Saenz.

"Tapi itu pun tidak realistis," sambungnya lagi. 

Tetapi, Ignacia Rodriguez, seorang advokat dari lembaga hukum di Los Angeles yang mengurus Pusat Hukum Imigrasi Nasional, mengaku tak yakin apakah memang data warga ilegal di AS itu tak bisa dipakai sebagai dasar deportasi. 

"Sejujurnya, kami tak bisa menerka apa yang bakal terjadi," ungkap perempuan itu. 

Sungguh, hari baru di AS kali ini telah dipenuhi dengan kekhawatiran dan rasa tidak nyaman warganya.

Shehab hanyalah salah satu contoh.

Wanita 40 tahun itu menyebut, putri sulungnya yang kini berusia 13 tahun, menghubungi dia dari sekolah.

"Anak saya bilang, seorang anak laki-laki pendukung Trump di sekolahnya mengejek dan menyebut Trump akan membatasi imigran Muslim," ungkap Shehab. 

Bocah perempuan itu lalu memelas dan memohon agar Shehab segera menjemputnya pulang, meski jam sekolah belum berakhir.

"Dia sedang menangis di kantor sekolah saat saya datang menjemputnya," ungkap Shehab.

"Ini adalah hari yang berat, mereka semua ketakutan," kata dia. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com