WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Amerika Serikat menghentikan penjualan 26.000 pucuk senapan serbu Filipina karena adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh Manila.
Kantor berita Reuters, Selasa (1/11/2016), melaporkan, AS menghentikan rencana penjualan senapan serbu kepada kepolisian Filipina karena khawatir disalahgunakan untuk tindakan di luar hukum, yang berpotensi melanggar HAM.
Sejak Rodrigo Duterte dilantik menjadi Presiden Filipina pada akhir Juni 2016, perang melawan kejahatan narkoba sangat tinggi. Ribuan orang telah tewas di luar operasi resmi kepolisian.
AS telah berulangkali memperingatkan Manila dan bahkan langsung mengecam tindakan Duterte terkait jatuhnya korban jiwa di luar operasi resmi kepolisian.
Namun, Presiden Rodrigo Duterte beberapa kali bersitegang dengan Washington, termasuk menyerang Presiden Barack Obama karena mengeritik cara Duterte menangani kasus narkoba.
Terkait dengan meningkatnya kasus pembunuhan di luar hukum, yang diduga kuat melanggar HAM, Departemen Luar Negeri AS menghentikan rencana penjualan 26.000 senapan serbu kepada Kepolisian Filipina.
Senator Ben Cardin, politisi senior Demokrat yang berada di dalam Komite Hubungan Luar Negeri Senat AS, mengatakan, ia akan menentang transaksi dengan sekutu lama AS itu.
Hubungan AS dan Filipina telah menjadi ruwet akhir-akhir ini setelah reaksi Duterte yang melecehkan Washington di tengah kekerasan di luar hukum dalam perang melawan narkoba.
Bulan lalu, Duterte mengatakan, orang tidak bersalah dan anak-anak mengalami "collateral damage" dalam perang narkoba karena polisi memakai senjata otomatis ketika menghadapi penjahat.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Duterte memberi contoh hipotetis seorang petugas menggunakan senapan M16 ketika berhadapan dengan gangster yang memegang pistol.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.