Beberapa tahun kemudian, ketika telah menjadi pelacur yang paling didambakan di kotanya, Dewi Ayu menyadari bahwa ketabahan hatinya telah menyelamatkannya dari sakit hati dan duka yang menimpa anak-anak perempuannya dan kekasih-kekasih mereka.
Eka sering kali dibandingkan dengan Pramoedya Ananta Toer, novelis sastra penganut paham "kiri" pada era Sukarno yang hidupnya kemudian diikuti oleh peristiwa-peristiwa buruk. Namun, perbandingan ini tidaklah tepat.
Eka dengan senang hati memunculkan sisi kemanusiaan dari tokoh yang dia ciptakan. Sebaliknya, Pramoedya berkomitmen pada ideologi dogmatis yang kuat, hingga dia terlihat terjebak di dalam obsesinya itu.
Sisi kemanusiaan yang tumbuh di masa berkembangnya ajaran agama yang konservatif itulah yang membuat "Cantik itu Luka" menjadi sangat luar biasa, begitu didambakan, dan yang terpenting, novel ini di luar norma-norma yang ada.
Terkecuali Dewi Ayu, karakter-karakter lainnya dalam novel ini digambarkan Eka sebagai budak dari emosi-emosi mereka. Seperti ketika mereka jatuh cinta, dunia seakan berhenti. Sebuah peristiwa yang tak terduga menimbulkan gema di sepanjang bentangan Pulau Jawa hingga samudera.
Eka juga melukiskan, meja-meja terbalik ketika anak perempuan kedua Dewi Ayu yang manipulatif, Allamanda, jatuh cinta pada Kliwon, aktivis komunis yang menawan.
"Ketika ia mulai menyadari bahwa ia sungguh-sungguh dibuat jatuh cinta, ia merasai ngeri pada kesadaran bahwa ia telah dikalahkan dan mencoba membunuh rasa cinta itu dengan memikirkan cara-cara paling mengerikan untuk membuat laki-laki itu jatuh di kakinya."
Seperti yang dituliskan Jon Fasman di the New York Times, hasil karya Eka menunjukkan kepada kita, "….bagaimana aliran sejarah menangkap, memutar, membawa dan terkadang menenggelamkan orang-orang."
Eka Kurniawan adalah seorang pencerita Asia Tenggara dengan pemahaman yang luar biasa terhadap materinya. Dia menolak segala sesuatu yang terlalu sopan dan borjuis. Sebaliknya, dia menikmati hal-hal yang manusiawi dan sederhana.
Dia membuat kita tertawa, tersedu sedan, dan menangis yang sering kali terjadi dengan cepat dalam urutan tersebut.
Novel ini sangat mirip dengan seni pertunjukan wayang pada malam hari. Ini benar dan saya rela melakukan apapun untuk menjadi sang penulis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.