"Cantik itu Luka" karya Eka Kurniawan yang meraih penghargaan World Readers, bukanlah ditujukan untuk pembaca novel yang mudah muntah jika membaca sesuatu yang menjijikkan dan sensitif.
Novel yang gamblang menuliskan air mani, darah menstruasi, kotoran, dan air seni ini, juga bukan sebuah bacaan yang perempuan suka, bukan tentang perzinahan kaum borjuis di Desa Hampstead, dan bukan pula tentang kejahatan di Eropa.
Eka membawa para pembacanya ke sebuah masyarakat di Pulau Jawa--yang mengingatkan kita pada sebuah pulau dengan populasi terbanyak di dunia (150 juta penduduk di area seluas Inggris dan masih akan terus bertambah…)—yang kehidupannya jauh lebih riuh dibandingkan kesopanan dan kepasifan kaum elite yang punya ciri khas gaya tarian istananya dan gaya bicaranya yang tersamar.
Novel ini mengisahkan sesuatu secara tajam dan suram. Dengan rangkaian cerita yang dituturkan secara baik serta memunculkan berbagai karakter dan peristiwa, "Cantik Itu Luka" juga sesak dengan kata-kata yang lugas namun penuh arti, seperti omongan si preman, Maman Gendeng, tentang manusia.
"Semua manusia mamalia seperti anjing, dan berjalan dengan dua kaki seperti ayam."
Jawa bagi Eka pada akhirnya lebih dari sebuah latar belakang.
Dia pun menciptakan sebuah kota imajinasi, Halimunda, yang memiliki kemiripan dengan kota Macondo ciptaan Gabriel Garcia Marquez atau Yoknapatawpha ciptaan Wiliam Faulkner.
Di Halimunda, berkembang banyak pengaruh agama dan kultur--Hindu, Muslim, kepercayaan animisme, Eropa dan Tiongkok–-sangat membingungkan. Mereka adalah elemen terbaik dari berbagai pilihan yang tersedia namun sulit untuk dimengerti.
Dewi Ayu, seorang perempuan yang cantik dengan ras campuran (anak dari hasil hubungan inses) adalah lakon utama dalam novel ini. Novel ini dimulai dengan peristiwa bangkitnya kembali Dewi Ayu yang tidak terduga dari liang kuburnya – sebuah kejadian yang umum terjadi (setidaknya di Halimunda), seperti umumnya perempuan pergi ke pasar.
Setelah kembali ke rumahnya, dia disambut pembantu setianya yang bisu dan tuli, Rosina. Dewi Ayu lalu mandi dan makan dengan lahap dan setelah itu dia bersendawa sembari buang angin.
Eka melukiskannya, "…mengeluarkan bunyi bercerucut di lubang pantatnya, sejenis kentut yang tertahan…"
Cerita novel ini berputar kembali ke masa sebelum perang, yakni masa kolonial Belanda, di saat Dewi Ayu melewati masa kanak-kanaknya yang indah—banyak kelompok pemain tenis, pelayan yang patuh, perumahan keluarga yang tersebar di mana-mana dan kemewahan seperti Kota Buitenzorg--sebelum kemudian semuanya hancur oleh invasi Jepang, hingga memunculkan banyak pemakaman, kekerasan, dan prostitusi.
Dewi Ayu digambarkan sebagai seorang perempuan bergairah dan sukar dipuaskan. Kalau mengingat sederetan wajah-wajah Asia yang cantik (dari Pevita Pearce dari Indonesia sampai Anne Curtis Smith dari Filipina) yang muncul di layar TV dan dunia perfilman di Asia Tenggara, daya tarik Dewi Ayu barangkali tidak mengherankan.
Apa yang menyegarkan dari Dewi Ayu adalah gelora dan perkataannya yang tajam dan tak terlupakan. Contohnya, ketika dia menggambarkan anak-anak perempuannya, "Mereka pergi begitu tahu bagaimana membuka kancing celana lelaki."