Saya besar di sebuah negara yang memiliki tidak hanya satu, tetapi sembilan keluarga kerajaan. Ketika pertama kali saya mendengar tentang sosok Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (Rama IX) wafat, saya lalu mengira-ira tentang dirinya.
Namun, yang terjadi kemudian adalah keterkejutan saya. Raja Bhumibol ternyata bukan bangsawan yang sombong, bodoh, dan kasar. Wajahnya halus dengan struktur wajah yang kecil dan runcing membuat kacamata besarnya - yang bulat seperti mata burung hantu - sering kali merosot di hidungnya setiap kali dia bepergian mengunjungi daerah-daerah yang terabaikan. Dia juga kerap menggantungkan kamera di lehernya.
Pemegang tahta kerajaan Chakri ke IX ini merupakan simbol tertinggi dari kerendahan hati dan kesederhanaan. Dia tidak menjadi pusat perhatian. Namun, sebaliknya, dia tekun pada kegemarannya, yakni memainkan saksofon dan sistem irigasi di pedesaan.
Saya tak pernah dapat membayangkan seseorang dengan kekuasaan yang begitu besar, di mana dia dapat memanggil dan memarahi politisi-politisi yang bertengkar mengenai hal-hal sepele untuk bersujud di hadapannya, memiliki sifat-sifat pemalu seperti anak kecil.
Beberapa tahun kemudian, saya bertemu dengan raja lain di Yogyakarta, Jawa Tengah, yang sangat anti-Belanda, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dia dipanggil dengan sebutan “Pak Sultan”.
Ketidakformalan ini barangkali dapat dimengerti mengingat jiwa revolusi bangsa yang ditumbuhkan Presiden Sukarno beberapa dekade sebelumnya.
Sedangkan di Filipina, sebuah negara yang penuh dengan pemimpin di daerah-daerah – sebuah fakta kehidupan yang hampir tidak berubah sejak penjajahan Spanyol – ide sebuah kerajaan tidak pernah terealisasi di luar daerah Mindanao dan Visayas.
Konsep dan praktik sistem kerajaan berkembang secara berbeda-beda tergantung di daerah mana Anda berada. Wafatnya Raja Bhumibol di mana manusia, sejarah dan legenda melebur menjadi satu, membuat kebanyakan orang di Asia Tenggara melihat kejadian itu dengan perspektif budaya yang berbeda-beda.
Kita semua terpukau dengan kedukaan begitu mendalam dan penuh kesungguhan hati yang diperlihatkan masyarakat Thailand.
Tentunya, sosial media telah membuat upaya dinasti Chakri menjadi jauh lebih sulit dalam mempertahankan keistimewaannya.
Kita sering mendengar tentang hukum mengenai pengkhianatan terhadap raja, anak-anak yang manja, anjing pudel yang dihiasai atribut militer, dan pesta-pesta tengah malam. Namun, itu semua tidak membuat kita meragukan reputasi Raja dan keluarganya.
Di Asia Tenggara, kita tahu bahwa ketidakpatuhan yang dilakukan oleh anak-anak keturunan dari figur-figur terkenal telah merusak reputasi dari ayah-ayah mereka.
Mereka melakukannya bersamaan dengan serangkaian pergantian penguasaan pemimpin militer dan kaum ningrat. Kemampuan Raja Bhumibol dalam menangani reputasinya telah membantunya untuk bangkit dari kekacauan yang diakibatkan oleh “Cold War” (termasuk gejolak yang ditimbulkan dari pembunuhan secara besar-besaran di Universitas Thammasat pada 1976).
Kemampuan dan reputasinya yang baik itu justru mencolok jika dibandingkan dengan para junta.