Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ervan Hardoko
wartawan

Wartawan, peminat isu-isu luar negeri dan olahraga, meski tidak gemar berolahraga

Kegagalan Tak Selalu Sia-sia

Kompas.com - 10/10/2016, 12:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

KOMPAS.com — Pagi ini saya membaca sebuah artikel menarik di majalah National Geographic Indonesia edisi lama, sekitar dua tahun lalu.

Artikel berjudul “Gagal, Kenapa Tidak?” intinya membahas bahwa semua pencapaian manusia tak akan pernah ada tanpa sebuah kegagalan.

Bintang artikel ini seorang insinyur asal Swedia, Salomon August Andree, yang pada 1897 memulai ekspedisi gila menuju Kutub Utara dengan menggunakan balon hidrogen.

Alasannya sederhana, hingga penghujung abad ke-19 itu tak satu pun ilmuwan yang sukses mencapai Kutub Utara lewat jalan darat atau laut.

Tak hanya berakhir gagal, sebagian besar ilmuwan itu juga harus kehilangan nyawa dalam upaya mencapai cita-cita mereka.

Nah, dalam benak Andree, perjalanan lewat udara tentu tak akan seberat jika dia harus menembus gunung es dan terjangan salju di daratan.

Maka dari itu, Andree dan dua rekannya berangkat pada Juli 1897 menuju Kutub Utara dengan bayangan sebuah kesuksesan.

Begitu yakinnya Andree akan kesuksesan hingga dia bahkan membawa tuksedo yang akan dikenakan saat dia pulang dari Kutub Utara.

Namun, sejarah mencatat hal yang sebaliknya. Ekspedisi itu gagal setelah balon udara yang dinamai Eagle itu harus mendarat di bongkahan es 480 kilometer dari Kutub Utara.

Andree dan dua rekannya kemudian harus berjalan kaki menuju selatan selama tiga bulan sebelum ketiganya tewas.

Jasad ketiga orang ini lengkap bersama kamera dan buku harian mereka ditemukan 33 tahun kemudian tanpa sengaja oleh para pemburu anjing laut.

***

Oktober 2016, Komite Nobel Norwegia harus memutuskan peraih Hadiah Nobel Perdamaian, sebuah penghargaan tahunan yang paling dinanti warga dunia.

Lebih dari 100 nama dan organisasi kemanusiaan menjadi kandidat peraih penghargaan yang diabadikan dari nama ilmuwan Alfred Nobel ini.

Salah satu nama yang muncul adalah Presiden Kolombia Juan Manuel Santos, yang sukses mengajak pemberontak komunis FARC meneken perjanjian damai pada 27 September 2016.

Nama Santos pantas masuk menjadi kandidat peraih Nobel Perdamaian sebab dia sukses mengajak FARC berunding dan mengakhiri pemberontakan yang sudah berlangsung 52 tahun.

Selama empat tahun, perundingan digelar dan berbagai kesepakatan ditawarkan. Akhirnya, Rodrigo Londono, pemimpin FARC, bersedia membubuhkan tanda tangannya dalam kesepakatan yang diresmikan di kota Cartegena, Kolombia, itu.

Santos tentu sudah menghitung bahwa kesepakatan damai ini tentu tak akan memuaskan semua orang. Terlebih lagi, dalam kesepakatan itu, para anggota pemberontak dijamin keamanannya saat kembali ke masyarakat.

Selain itu, FARC, yang awalnya adalah sebuah organisasi yang identik dengan kekerasan senjata, menjadi partai politik yang secara teori suatu hari kelak bisa berkuasa di Kolombia jika memenangi pemilu.

Meski disambut gegap gempita di seluruh dunia, bahkan seremoni kesepakatan damai itu dihadiri para pemimpin dunia termasuk Sekjen PBB Ban Ki-moon, hasil ini tak memuaskan semua pihak.

Benar saja, saat referendum digelar untuk meminta pendapat rakyat soal kesepakatan ini, ternyata lebih dari separuh warga Kolombia tak setuju berdamai.

Alasan mereka, kesepakatan damai itu dianggap terlalu menguntungkan pemberontak yang memicu perang saudara dan menewaskan lebih dari 200.000 orang itu.

Kekalahan Pemerintah Kolombia dalam referendum ini oleh banyak kalangan dinilai memupus peluang Presiden Santos meraih Nobel Perdamaian.

Namun, panitia pemberi hadiah memiliki pemikiran lain. Secara politis, Santos memang gagal meyakinkan rakyatnya terkait pentingnya kesepakatan damai itu.

Santos akhirnya tetap diganjar hadiah Nobel Perdamaian terlepas dari hasil referendum yang mengejutkan jika tak ingin disebut menyakitkan itu.

Komite Nobel menilai, kerja keras Santos melakukan segala upaya untuk mengakhiri perang saudara di negerinya dan meyakinkan pemberontak untuk turun gunung menghentikan gerilya lebih dari sudah layak dihadiahi trofi bergengsi itu.

***

Kisah Solomon August Andree dan Presiden Juan Manuel Santos ini menunjukkan, kegagalan sebenarnya bukan hal jelek dan harus ditakuti.

Kegagalan malah bisa digunakan sebagai cara menemukan keberhasilan. Bahkan dalam beberapa kasus, kegagalan lebih banyak dikenang ketimbang sebuah keberhasilan.

Shutterstock Ilustrasi: Monumen Columbus (Mirador de Colom) di Barcelona, Catalonia, Spanyol.
Christopher Colombus gagal menemukan jalan menuju India tetapi malah menemukan “benua baru” yang kini dikenal dengan nama Amerika.

Ilmuwan Jerman, Otto Lilienthal, tewas dalam upayanya menemukan cara agar manusia bisa terbang, hingga kini dia dianggap salah satu pionir penerbangan.

Apollo 13 gagal menyelesaikan misinya karena kerusakan modul oksigen tetapi dianggap sukses karena semua astronotnya kembali ke Bumi dengan selamat.

Solomon August Andree gagal dalam ekspedisinya tetapi kegagalannya menjadi pelajaran bagi ilmuwan lain yang ingin melakukan perjalanan serupa.

Presiden Santos mungkin gagal dalam meyakinkan rakyatnya dalam referendum dan bisa saja upaya menciptakan perdamaian yang dirintisnya selama empat tahun buyar dan Kolombia bisa terpuruk lagi dalam perang saudara.

Namun, apa yang diwariskan Presiden Santos dalam upayanya menciptakan perdamaian bukan sekadar sebuah kegagalan.

Kolombia memberikan pelajaran bahwa mengupayakan perdamaian bukan perkara mudah dan tak akan memuaskan semua pihak.

Proses perdamaian di Kolombia menunjukkan bahwa kerelaan untuk berdamai bagi sebagian orang tak cukup untuk mengganti apa yang mereka anggap sebagai kerugian.

Niat berdamai saja tak cukup karena rasa curiga berlebihan dari mereka yang justru juga menjadi korban peperangan.

Syukurlah, komite Nobel bisa menilai bahwa “kegagalan” Presiden Santos bisa menjadi pelajaran bagi siapa saja pada kemudian hari yang berupaya menciptakan perdamaian.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com