Nama Santos pantas masuk menjadi kandidat peraih Nobel Perdamaian sebab dia sukses mengajak FARC berunding dan mengakhiri pemberontakan yang sudah berlangsung 52 tahun.
Selama empat tahun, perundingan digelar dan berbagai kesepakatan ditawarkan. Akhirnya, Rodrigo Londono, pemimpin FARC, bersedia membubuhkan tanda tangannya dalam kesepakatan yang diresmikan di kota Cartegena, Kolombia, itu.
Santos tentu sudah menghitung bahwa kesepakatan damai ini tentu tak akan memuaskan semua orang. Terlebih lagi, dalam kesepakatan itu, para anggota pemberontak dijamin keamanannya saat kembali ke masyarakat.
Selain itu, FARC, yang awalnya adalah sebuah organisasi yang identik dengan kekerasan senjata, menjadi partai politik yang secara teori suatu hari kelak bisa berkuasa di Kolombia jika memenangi pemilu.
Meski disambut gegap gempita di seluruh dunia, bahkan seremoni kesepakatan damai itu dihadiri para pemimpin dunia termasuk Sekjen PBB Ban Ki-moon, hasil ini tak memuaskan semua pihak.
Benar saja, saat referendum digelar untuk meminta pendapat rakyat soal kesepakatan ini, ternyata lebih dari separuh warga Kolombia tak setuju berdamai.
Alasan mereka, kesepakatan damai itu dianggap terlalu menguntungkan pemberontak yang memicu perang saudara dan menewaskan lebih dari 200.000 orang itu.
Kekalahan Pemerintah Kolombia dalam referendum ini oleh banyak kalangan dinilai memupus peluang Presiden Santos meraih Nobel Perdamaian.
Namun, panitia pemberi hadiah memiliki pemikiran lain. Secara politis, Santos memang gagal meyakinkan rakyatnya terkait pentingnya kesepakatan damai itu.
Santos akhirnya tetap diganjar hadiah Nobel Perdamaian terlepas dari hasil referendum yang mengejutkan jika tak ingin disebut menyakitkan itu.
Komite Nobel menilai, kerja keras Santos melakukan segala upaya untuk mengakhiri perang saudara di negerinya dan meyakinkan pemberontak untuk turun gunung menghentikan gerilya lebih dari sudah layak dihadiahi trofi bergengsi itu.
***
Kisah Solomon August Andree dan Presiden Juan Manuel Santos ini menunjukkan, kegagalan sebenarnya bukan hal jelek dan harus ditakuti.
Kegagalan malah bisa digunakan sebagai cara menemukan keberhasilan. Bahkan dalam beberapa kasus, kegagalan lebih banyak dikenang ketimbang sebuah keberhasilan.
Christopher Colombus gagal menemukan jalan menuju India tetapi malah menemukan “benua baru” yang kini dikenal dengan nama Amerika.