Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Evan A. Laksmana
Peneliti

Peneliti kebijakan strategis and militer di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik, Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University, New York. Berkicau di @EvanLaksmana

KTT Asia Timur dan Dimensi Strategis Arbitrase LCS

Kompas.com - 20/09/2016, 13:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Lebih dari seminggu lalu, Indonesia baru selesai mengikuti serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN dan Pertemuan Puncak Asia Timur (East Asia Summit atau EAS) di Laos.

Pertemuan-pertemuan ini dihadiri para kepala negara anggota ASEAN serta mitra strategis lainnya, termasuk Amerika, Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, dan Korea Selatan.

Di tengah bergejolaknya lingkungan Laut China Selatan (LCS) pasca putusan tribunal arbitrase hukum laut internasional (UNCLOS) bulan Juli lalu, Chairman's Statement EAS tertanggal 8 September justru tidak menyentuh persoalan ini secara mendalam.

Dalam pernyataan terkait LCS, EAS mengulangi kembali pesan-pesan berbagai pertemuan ASEAN beberapa tahun belakangan. Yakni pentingnya menjaga stabilitas kawasan dan kebebasan navigasi dan penerbangan, mengkhawatirkannya militerisasi kawasan LCS, dan perlunya negara-negara kawasan menegakkan UNCLOS serta melaksanakan prinsip-prinsip Declaration on the Code of Conduct (DoC) dan segera menyelesaikan Code of Conduct (CoC).

Mengapa putusan tribunal arbitrase UNCLOS yang jelas-jelas sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dimasukkan dalam berbagai pernyataan ASEAN maupun EAS?

Sederhananya, dalam vonis yang disampaikan melalui Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai registrar, Mahkamah Arbitrase UNCLOS mengabulkan sebagian besar dari 15 gugatan Manila terhadap Beijing.

Keputusan yang final dan mengikat secara hukum ini menyatakan, antara lain, klaim historis China yang mendasari peta sembilan garis putus-putus (nine-dash line) tidak sah dan bertentangan dengan hukum laut internasional.

Selain itu, China juga dianggap melanggar UNCLOS karena tidak mencegah nelayan mereka melakukan aktivitas di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina.

Berbagai manuver penjaga pantai China yang menghalang-halangi aparat Filipina juga dianggap melanggar ketentuan International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREG).

Selain menentukan status berbagai bebatuan dan beting (shoal) di sekitar kepulauan Spratly, Mahkamah juga menetapkan bahwa kegiatan "reklamasi pulau buatan" China tidak sesuai dengan UNCLOS dan bahkan merusak ekosistem lingkungan laut di sekitarnya.

Akibatnya, Beijing--sebagai pihak yang dirugikan dalam vonis tersebut--dapat dibilang sukses mengintervensi proses diplomatik ASEAN dan EAS untuk memberikan pernyataan sikap atas vonis arbitrase tersebut.

Namun, ada lima dimensi strategis dari vonis tersebut yang perlu dipertimbangkan para pembuat kebijakan luar negeri kita.

Pertama, vonis arbitrase meneguhkan posisi Indonesia selama ini  bahwa peta sembilan garis putus-putus China tidak sah menurut UNCLOS; sebagaimana telah kita sampaikan dalam note verbale ke PBB tahun 2010 dan dijelaskan lebih lanjut oleh mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda belakangan (Kompas, 15/07/16).

Meskipun demikian, kita harus memandang peneguhan ini bukan sebagai alasan untuk berdiam diri dan saling menyelamati diri sendiri karena posisi kita dibenarkan.

Sebaliknya, peneguhan ini malah harus mendorong Kementerian Luar Negeri untuk lebih proaktif memimpin manajemen ketegangan di LTS di luar sekedar memegang teguh posisi "non-claimant". 

BBC/UNCLOS/GOOGLE MAP Peta wilayah sengketa di Laut China Selatan.
Kedua, kepemimpinan Indonesia menjadi persoalan strategis karena sentralitas ASEAN dalam pembangunan arsitektur kawasan makin menurun di tengah sengketa LCS dan menguatnya rivalitas dan pertarungan politik negara-negara besar.

Terlebih lagi, China semakin mengobarkan politik perpecahan untuk "memisahkan" mereka yang mendukung dan menolak proses arbitrase, dan antara mereka yang mendukung manajemen sengketa LCS lewat ASEAN atau jalur bilateral.

Pengkotak-kotakan ini tidak kondusif bagi masa depan tatanan kawasan berbasis prinsip dan hukum internasional dan melemahkan Masyarakat Politik Keamanan ASEAN. 

Dalam hal ini, kepemimpinan Indonesia perlu diarahkan untuk secara proaktif meredakan ketegangan tapi tetap menyatukan posisi bersama ASEAN.

Lebih jauh, vonis Mahkamah tersebut dapat dipandang sebagai "peluru tambahan" untuk mendorong lebih jauh proses negosiasi CoC di LCS antara ASEAN dan China.

Ketiga, proses arbitrase menggarisbawahi nilai strategis kapal-kapal nelayan. Dalam penjelasannya, Mahkamah mengukur pelanggaran Tiongkok dari perilaku yang membiarkan kapal-kapal nelayan mereka memancing di wilayah ZEE Filipina.

Dengan kata lain, negara menjadi penanggungjawab atas semua kegiatan kapal nelayan mereka, terlepas dari apakah kapal-kapal tersebut "didorong" oleh pemerintah daerah atau kepentingan bisnis.

Selain itu, kegiatan kapal nelayan, terutama di wilayah ZEE negara lain, juga dapat memicu "insiden" dan bahkan konflik di laut.

Berbagai insiden dengan kapal nelayan dan penjaga pantai China di perairan Natuna beberapa bulan terakhir adalah contoh nyata.

Vonis arbitrase dapat kita gunakan untuk menyatakan dengan jelas bahwa China melanggar UNCLOS jika insiden di Natuna berulang kembali (dan COLREG jika manuver berbahaya penjaga pantai China di insiden bulan Maret 2016 terjadi lagi).

Dalam hal ini, pemerintah perlu mendorong China untuk bekerja sama menjaga keselamatan di laut dan merawat ekosistem maritim serta sumber daya perikanan tanpa melanggar wilayah ZEE Indonesia.

Keempat, makin maraknya strategi "perang hukum" atau lawfare di mana negara-negara kawasan menggunakan hukum internasional sebagai alat pertarungan rivalitas strategis, terutama di daerah sengketa seperti LCS.

Misalnya, meski AS belum meratifikasi UNCLOS tapi mengikutinya dan China sudah meratifikasi UNCLOS tapi tidak mengikutinya, kedua negara tersebut menggunakan UNCLOS untuk saling menekan satu sama lain.

Keputusan Manila untuk "melawan" Beijing melalui Mahkamah UNCLOS juga salah satu contoh lawfare.

Maraknya lawfare menegaskan pentingnya reputasi internasional sebagai komoditas strategis tapi juga menunjukkan kelemahan mendasar sistem internasional: tidak adanya "polisi dunia" untuk menegakkan hukum.

Artinya, hukum internasional, termasuk vonis arbitrase, tidak bisa ditegakkan di luar kemauan negara-negara tersebut untuk menjalankannya. Kepentingan nasional, dan bukan kekuatan hukum internasional, yang menjadi panglima.

Ini alasan mengapa ada standar ganda hukum internasional (AS, misalnya, juga pernah menolak vonis ICJ soal Nicaragua), dan mengapa mengandalkan "perlindungan" hukum internasional, termasuk UNCLOS, seringkali bukan langkah strategis yang memadai.

Xinhua/AP Kapal induk AL China, Liaoning.
Dengan kata lain, meski Indonesia tetap harus mendorong penegakan hukum internasional, kita sebaiknya memikirkan opsi-opsi strategis lainnya untuk menjaga kepentingan nasional kita di kawasan, termasuk soal perairan Natuna.

Terakhir, vonis Mahkamah menggarisbawahi pentingnya reformasi sistem keamanan maritim dalam negeri.

Salah satu gugatan Filipina yang ditolak intinya terkait dengan ketegangan antara penjaga pantai China dan Filipina---Mahkamah memutuskan bahwa persoalan antar dua aktor militer atau keamanan laut tidak masuk ke ranah UNCLOS dan wewenang mereka.

Artinya, jika terjadi lagi insiden ketegangan antara penjaga laut pantai China dengan aparat keamanan laut kita, apalagi jika terjadi kontak senjata (misalnya karena diabaikannya standar signal penegakan hukum di laut), logika hukum internasional semata-mata  mungkin tidak lagi memadai.

Kita perlu menyamakan persepsi dan melembagakan lebih jauh standar operasi dan aturan penindakan (rules of engagement) antara Satgas KKP, TNI-AL, dan Bakamla  terkait operasi penegakan hukum dan keamanan di laut. Strategi pertahanan maritim kita juga perlu dikaji ulang dan dikembangkan lebih lanjut.

Pertarungan hukum melalui proses arbitrase sudah usai. Pertarungan strategis untuk menegakkan stabilitas kawasan sambil membangkitkan sentralitas ASEAN baru saja dimulai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com