Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Evan A. Laksmana
Peneliti

Peneliti kebijakan strategis and militer di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Kandidat doktor ilmu politik, Maxwell School of Citizenship and Public Affairs, Syracuse University, New York. Berkicau di @EvanLaksmana

KTT Asia Timur dan Dimensi Strategis Arbitrase LCS

Kompas.com - 20/09/2016, 13:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Kedua, kepemimpinan Indonesia menjadi persoalan strategis karena sentralitas ASEAN dalam pembangunan arsitektur kawasan makin menurun di tengah sengketa LCS dan menguatnya rivalitas dan pertarungan politik negara-negara besar.

Terlebih lagi, China semakin mengobarkan politik perpecahan untuk "memisahkan" mereka yang mendukung dan menolak proses arbitrase, dan antara mereka yang mendukung manajemen sengketa LCS lewat ASEAN atau jalur bilateral.

Pengkotak-kotakan ini tidak kondusif bagi masa depan tatanan kawasan berbasis prinsip dan hukum internasional dan melemahkan Masyarakat Politik Keamanan ASEAN. 

Dalam hal ini, kepemimpinan Indonesia perlu diarahkan untuk secara proaktif meredakan ketegangan tapi tetap menyatukan posisi bersama ASEAN.

Lebih jauh, vonis Mahkamah tersebut dapat dipandang sebagai "peluru tambahan" untuk mendorong lebih jauh proses negosiasi CoC di LCS antara ASEAN dan China.

Ketiga, proses arbitrase menggarisbawahi nilai strategis kapal-kapal nelayan. Dalam penjelasannya, Mahkamah mengukur pelanggaran Tiongkok dari perilaku yang membiarkan kapal-kapal nelayan mereka memancing di wilayah ZEE Filipina.

Dengan kata lain, negara menjadi penanggungjawab atas semua kegiatan kapal nelayan mereka, terlepas dari apakah kapal-kapal tersebut "didorong" oleh pemerintah daerah atau kepentingan bisnis.

Selain itu, kegiatan kapal nelayan, terutama di wilayah ZEE negara lain, juga dapat memicu "insiden" dan bahkan konflik di laut.

Berbagai insiden dengan kapal nelayan dan penjaga pantai China di perairan Natuna beberapa bulan terakhir adalah contoh nyata.

Vonis arbitrase dapat kita gunakan untuk menyatakan dengan jelas bahwa China melanggar UNCLOS jika insiden di Natuna berulang kembali (dan COLREG jika manuver berbahaya penjaga pantai China di insiden bulan Maret 2016 terjadi lagi).

Dalam hal ini, pemerintah perlu mendorong China untuk bekerja sama menjaga keselamatan di laut dan merawat ekosistem maritim serta sumber daya perikanan tanpa melanggar wilayah ZEE Indonesia.

Keempat, makin maraknya strategi "perang hukum" atau lawfare di mana negara-negara kawasan menggunakan hukum internasional sebagai alat pertarungan rivalitas strategis, terutama di daerah sengketa seperti LCS.

Misalnya, meski AS belum meratifikasi UNCLOS tapi mengikutinya dan China sudah meratifikasi UNCLOS tapi tidak mengikutinya, kedua negara tersebut menggunakan UNCLOS untuk saling menekan satu sama lain.

Keputusan Manila untuk "melawan" Beijing melalui Mahkamah UNCLOS juga salah satu contoh lawfare.

Maraknya lawfare menegaskan pentingnya reputasi internasional sebagai komoditas strategis tapi juga menunjukkan kelemahan mendasar sistem internasional: tidak adanya "polisi dunia" untuk menegakkan hukum.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com