Lebih dari seminggu lalu, Indonesia baru selesai mengikuti serangkaian Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN dan Pertemuan Puncak Asia Timur (East Asia Summit atau EAS) di Laos.
Pertemuan-pertemuan ini dihadiri para kepala negara anggota ASEAN serta mitra strategis lainnya, termasuk Amerika, Australia, China, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, dan Korea Selatan.
Di tengah bergejolaknya lingkungan Laut China Selatan (LCS) pasca putusan tribunal arbitrase hukum laut internasional (UNCLOS) bulan Juli lalu, Chairman's Statement EAS tertanggal 8 September justru tidak menyentuh persoalan ini secara mendalam.
Dalam pernyataan terkait LCS, EAS mengulangi kembali pesan-pesan berbagai pertemuan ASEAN beberapa tahun belakangan. Yakni pentingnya menjaga stabilitas kawasan dan kebebasan navigasi dan penerbangan, mengkhawatirkannya militerisasi kawasan LCS, dan perlunya negara-negara kawasan menegakkan UNCLOS serta melaksanakan prinsip-prinsip Declaration on the Code of Conduct (DoC) dan segera menyelesaikan Code of Conduct (CoC).
Mengapa putusan tribunal arbitrase UNCLOS yang jelas-jelas sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dimasukkan dalam berbagai pernyataan ASEAN maupun EAS?
Sederhananya, dalam vonis yang disampaikan melalui Permanent Court of Arbitration (PCA) sebagai registrar, Mahkamah Arbitrase UNCLOS mengabulkan sebagian besar dari 15 gugatan Manila terhadap Beijing.
Keputusan yang final dan mengikat secara hukum ini menyatakan, antara lain, klaim historis China yang mendasari peta sembilan garis putus-putus (nine-dash line) tidak sah dan bertentangan dengan hukum laut internasional.
Selain itu, China juga dianggap melanggar UNCLOS karena tidak mencegah nelayan mereka melakukan aktivitas di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina.
Berbagai manuver penjaga pantai China yang menghalang-halangi aparat Filipina juga dianggap melanggar ketentuan International Regulations for Preventing Collisions at Sea (COLREG).
Selain menentukan status berbagai bebatuan dan beting (shoal) di sekitar kepulauan Spratly, Mahkamah juga menetapkan bahwa kegiatan "reklamasi pulau buatan" China tidak sesuai dengan UNCLOS dan bahkan merusak ekosistem lingkungan laut di sekitarnya.
Akibatnya, Beijing--sebagai pihak yang dirugikan dalam vonis tersebut--dapat dibilang sukses mengintervensi proses diplomatik ASEAN dan EAS untuk memberikan pernyataan sikap atas vonis arbitrase tersebut.
Namun, ada lima dimensi strategis dari vonis tersebut yang perlu dipertimbangkan para pembuat kebijakan luar negeri kita.
Pertama, vonis arbitrase meneguhkan posisi Indonesia selama ini bahwa peta sembilan garis putus-putus China tidak sah menurut UNCLOS; sebagaimana telah kita sampaikan dalam note verbale ke PBB tahun 2010 dan dijelaskan lebih lanjut oleh mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda belakangan (Kompas, 15/07/16).
Meskipun demikian, kita harus memandang peneguhan ini bukan sebagai alasan untuk berdiam diri dan saling menyelamati diri sendiri karena posisi kita dibenarkan.
Sebaliknya, peneguhan ini malah harus mendorong Kementerian Luar Negeri untuk lebih proaktif memimpin manajemen ketegangan di LTS di luar sekedar memegang teguh posisi "non-claimant".