Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Filipina Takut Mengkritik Cara Duterte Berantas Narkoba

Kompas.com - 05/09/2016, 14:46 WIB

MANILA, KOMPAS.com - Mayat sopir taksi Eric Sison (22) dibiarkan terbaring dalam peti di kawasan kumuh Manila bersama seekor ayam, yang ditempatkan untuk secara simbolik mematuk kesadaran pembunuhnya.

Sison tewas pada bulan lalu oleh tembakan polisi, yang memburu pengedar obat terlarang di permukiman Pasay, Manila, seperti dilaporkan Reuters.

Dalam video rekaman penembakan Sison, yang beredar di media gaul, terdengar suara "Jangan lakukan, saya akan menyerah!". Yang terjadi kemudian adalah suara tembakan.

Di samping peti mayat Sison terdapat poster bertuliskan "Keadilan untuk Eric Quintinita Sison" dan tulisan tangan "Pembunuhan Besar-besaran - Keadilan untuk Eric".

Gerakan untuk Sison itu adalah protes langka di tengah lonjakan pembunuhan terhadap warga Filipina dalam kebijakan keras terhadap pengedar dan pengguna narkotika sejak Presiden Rodrigo Duterte berkuasa 30 Juni lalu.

Di luar hukum

Hampir tidak ada yang menentang kebijakan mematikan itu.

Pada pekan lalu, jumlah keseluruhan orang yang tewas sejak 1 Juli telah mencapai 2.400 orang dengan sekitar 900 orang di antaranya tewas dalam operasi kepolisian.

Sisanya adalah ‘kematian saat pemeriksaan’, kalimat dari pegiat hak asasi manusia untuk menggambarkan pembunuhan di luar hukum.

Lembaga penyelidik internal kepolisian Filipina (IAS) dan Komisi Hak Asasi Manusia (CHR) tidak bisa lagi menangani semua peristiwa pembunuhan tersebut.

Mereka hanya menyelidiki sebagian kecil di antaranya untuk menemukan adanya pelanggaran hukum oleh polisi.

Selain itu, saksi pembunuhan juga takut untuk bersuara.

Di sisi lain, ketenaran Duterte – yang  masih tinggi – dan ketakutan akan kebijakan kerasnya membungkam suara kritis dari kelompok warga.

Sangat sedikit orang yang datang menyalakan lilin duka untuk memprotes pembunuhan ekstra-judisial.

Duterte sendiri balik menyerang lawan politiknya, Senator Leila de Lima, dengan menuding tokoh perempuan tersebut juga terlibat dalam pengedaran narkoba dan selingkuh dengan sopir pribadinya.

"Hanya presiden yang bisa menghentikan ini," kata de Lima kepada Reuters, pekan lalu.

Sementara itu, kritik dari PBB dan Amerika Serikat juga ditanggapi dengan umpatan kotor.

Duterte menolak bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki Moon dalam pertemuan puncak negara-negara Asia Tenggara pekan ini.

Kepada Presiden AS Barack Obama, dia mengaku akan menampik nasihat dari seseorang yang membiarkan "orang kulit hitam ditembak bahkan saat sudah menyerah."

Takut

Duterte kemungkinan akan semakin memperkeras kebijakannya setelah munculnya serangan bom oleh Abu Sayyaf di kota kelahiran, Davao, yang menewaskan 14 orang.

AP Militan Abu Sayyaf di pulau Jolo, Filipina selatan
Duterte kemudian menyatakan keadaan darurat nasional dan mengizinkan tentara untuk membantu kepolisian berpatroli dan berjaga di sejumlah titik.

Sejumlah aktivis mengaku telah mendokumentasikan ratusan pembunuhan mencurigakan oleh sekelompok penjagal di Davao saat Duterte menjadi wali kota.

Duterte membantah telah menginstruksikan pembunuhan tersebut namun tidak mengecamnya. Selain itu, para penjagal juga bergerak dengan pembiaran.

Cara tersebut kini diterapkan di tingkat nasional dengan sangat cepat.

Di banyak daerah, daftar pengedar narkotika diserahkan kepada polisi oleh masyarakat setempat sehingga memunculkan ketakutan dan ketidak-percayaan di antara sesama masyarakat.

Kepala IAS, Leo Angelo Leuterio, mengatakan bertanggung jawab untuk menyelidiki semua penembakan yang melibatkan kepolsiain.

Namun, dengan personil yang hanya 170 orang, IAS hanya bisa menangani 30 persen dari sekitar 30 kasus yang muncul setiap hari.

Kepala IAS seharusnya berasal dari kalangan sipil untuk memastikan independensi.

Leuterio sendiri adalah polisi yang menghabiskan 13 tahun karirnya di tempat kelahiran Duterte, Davao.

Sementara itu, komisi HAM, CHR, hanya menangani 259 dari lebih dari 2.000 kasus pembunuhan sejak 1 Juli.

CHR mengaku tantangan utama mereka adalah kesulitan mencari saksi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com