Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Laoya, Desa Para "Jomblo" di China

Kompas.com - 31/08/2016, 18:37 WIB

BEIJING, KOMPAS.com — Sebuah desa yang berlokasi di daerah terpencil di Provinsi Anhui, di wilayah timur China, dikenal sebagai desa para bujangan.

Xiong Jigen adalah seorang pria lajang yang tinggal di desa bernama Laoya itu. Pria ini dijuluki "bujang lapuk" karena pada usianya yang telah menginjak 43 tahun, ia belum juga menikah.

Julukan yang sama juga diberikan kepada para pria di desa tersebut yang belum kunjung menemukan istri hingga usia paruh baya.

Umumnya, pria-pria usia dua puluhan di China sudah menikah, memiliki rumah, dan menjadi kepala keluarga.

"Tempat ini terisolasi dan transportasinya sangat sulit," ujar Xiong, seakan mencari dalih penyebab "kejombloannya" itu.

Kandang ayam terletak di belakang rumah dan ladang jagung terdapat di halaman depan kediamannya yang terletak di atas bukit.

Salah satu cara menuju tempat itu menggunakan jalur darat, berkendara selama satu jam melalui medan tanah yang curam.

Rumah Xiong adalah salah satu dari tujuh tempat tinggal yang dikelilingi hutan bambu dan pepohonan. Sebuah pemandangan yang indah.

Desa para bujangan

Desa Laoya, yang artinya 'Bebek Tua', dikenal masyarakat setempat sebagai "desa bujangan" karena populasi pria tak menikah yang tinggi.

Menurut sebuah survei pada 2014, sebanyak 112 penduduk pria yang berusia 30 hingga 55 tahun masih menyandang status bujangan. Angka tersebut terbilang tinggi mengingat penduduk Laoya hanya 1.600 orang.

Xiong mengaku, dia mengetahui bahwa lebih dari 100 pria desanya belum memiliki pasangan  hidup.

"Saya tidak dapat menemukan istri, mereka pindah ke tempat lain untuk bekerja, lalu bagaimana saya bisa menemukan perempuan untuk dinikahi?" kata dia.

Lagi-lagi, ia menyalahkan buruknya jalan menuju ke desa itu.

"Transportasi sangat sulit di sini, kami tak dapat menyeberangi sungai ketika hujan. Perempuan tak ingin menetap di sini," katanya.

China merupakan negara dengan penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan. Setiap 115 kelahiran bayi laki-laki berbanding dengan hanya 100 kelahiran bayi perempuan.

Kebijakan satu anak di China diyakini menjadi penyebab situasi ini. Secara historis masyarakat di negara yang diperintah Partai Komunis ini lebih menyukai anak laki-laki ketimbang perempuan.

Hal tersebut membuat warga negeri ini lebih memilih memiliki satu anak laki-laki dan melakukan aborsi janin bayi perempuan.

Akibatnya, sejak 1980, China mengalami surplus pria yang berujung banyak pria negeri tersebut kesulitan mendapatkan istri.

Peran orangtua dalam mengupayakan kehidupan terbaik bagi anak-anak mereka masih sangat penting. Keberadaan makcomblang atau perantara untuk mencari pasangan hidup adalah hal yang lazim di desa-desa.

Xiong mengatakan, ia sudah menggunakan jasa para makcomblang, tetapi tetap saja dia tak kunjung menemukan pasangan hidup.

"Beberapa (perempuan) sudah pernah berkunjung ke sini lewat makcomblang. namun, kemudian mereka pergi lagi karena mereka mendapatkan kesan yang buruk tentang transportasi," kata Xiong. 

Peran makcomblang

Belum memiliki pasangan hidup bukan berarti Xiong tak pernah jatuh cinta terhadap seorang perempuan. Dia bahkan mengaku sudah pernah berpacaran.

"Saya pernah pacaran sebelumnya, tetapi tidak berhasil. Ia mengeluh bahwa desa saya tidak baik untuknya, terutama jalanannya," kenang Xiong.

Dia melanjutkan, pertemuannya dengan kekasihnya itu difasilitasi seorang makcomblang. Xiong masih mengingat jelas sosok perempuan yang pernah dicintainya itu.

"Tingginya hampir sama dengan saya, tidak terlalu gemuk atau terlalu kurus. Ia cukup terbuka," kata dia.

Para perempuan Laoya, seperti di desa-desa lain di seluruh China, pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Provinsi Anhui, Shanghai, memiliki daya pikat tersendiri bagi para perempuan desa. Di kota metropolitan itu, mereka bisa menemukan pekerjaan jauh lebih baik dan sering kali juga mendapatkan suami.

Beberapa di antara para perempuan itu pernah kembali lagi ke kampung halamannya, tetapi tentu saja dalam keadaan sudah menikah.

Para pria dan wanita yang tinggal

Para laki-laki juga ikut meninggalkan desa, tetapi biasanya hanya untuk bekerja dan tidak mencari istri. Beberapa orang tinggal di kampung halaman untuk mengurus orangtua sesuai dengan tradisi China.

Xiong Jigen memutuskan untuk tinggal di kampung halaman demi merawat pamannya yang sudah berusia renta.

"Ia tak akan mendapatkan makanan jika saya tinggalkan. Ia tak bisa pergi ke pantai jompo," tutur Xiong saat bercerita tentang pamannya.

Kewajiban generasi muda untuk merawat orangtua tetap merupakan bagian penting dari kehidupan keluarga di China.

Presiden Xi Jinping telah berbicara tentang bagaimana ia meyakini tidak ada sesuatu yang terbangun lebih kuat dari pertalian keluarga.

Bahkan, baru-baru ini Pemerintah Shanghai mengeluarkan aturan yang menyebut bahwa anak-anak akan mendapat hukuman jika tak mengunjungi orangtua mereka.

Walaupun banyak perempuan Laoya yang memutuskan untuk meninggalkan desanya, beberapa di antara mereka lebih memilih untuk tinggal, salah satunya adalah tetangga Xiong, Wang Caifeng.

Wang (39) merupakan seorang petani yang memiliki dua anak dan seorang suami.

"Kampung halaman adalah yang terbaik. Tentu saja saya lebih memilih tinggal di sini," kata Wang.

Lalu, bagaimana masa depan seperti apa yang ia harapkan bagi kedua anak perempuannya? Saat ini, mereka masih bersekolah yang harus dicapai dengan berjalan kaki selama lebih dari satu jam.

Hanya satu harapan Wang yaitu kedua putrinya itu tetap tinggal bersamanya saat beranjak dewasa.

Namun, salah seorang putrinya, Fujing (14), ingin menjadi seorang dokter dan tentu saja untuk meraih cita-citanya, gadis itu tak bisa terus tinggal di Laoya.

Sebenarnya "dunia luar" tak terlalu jauh dari desa Laoya. Jalan untuk menghubungkan desa itu dengan kota kecil terdekat tak terlalu jauh dan bisa dicapai dengan menggunakan sepeda, yang juga dimiliki Xiong.

Namun, Laoya tetap terasa berada di kawasan terpencil. Bahkan, rumah baru Xiong, yang dibangun tiga tahun lalu, tak cukup untuk membujuk para perempuan untuk tinggal di desa itu.

Laoya bukanlah satu-satunya desa bujangan di Negeri Tirai Bambu. Hal tersebut menggambarkan dilema kehidupan pedesaan di China, keterikatan dengan tanah, ketimpangan jumlah laki-laki dan perempuan, serta kewajiban untuk merawat yang lebih tua.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com