Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Achmad Nur Hidayat
Pengamat

S2, Lee Kuan Yew School of Public Policy, Tenaga Ahli Senior Ekonomi Komite Ekonomi Nasional, Presiden SBY, dan Peneliti Komite Ekonomi Inovasi Nasional Presiden Jokowi. Pengamat Kebijakan Publik dan Geopolitcs  CIDES, 2010-Sekarang

Fenomena Brexit dan Konsekuensi Masa Depannya: Deglobalisasi?

Kompas.com - 05/08/2016, 21:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Frustrasi populer diperkuat oleh meningkatnya ketidaksetaraan. Untuk mencegah perlambatan global, bank sentral melakukan kebijakan loosening monetary policy, memompa likuiditas berlebih ke pasar.

Likuiditas tersebut bukannya mendorong upah dan pertumbuhan pekerjaan dalam ekonomi riil malah uang "panas" tersebut masuk ke aset keuangan, termasuk di dalamnya saham, obligasi dan properti - dampaknya adalah mendorong harga aset ke rekor tertinggi.

*Orang kaya memiliki sebagian besar aset tersebut sementara orang miskin tidak memilikinya sehingga gap ketidaksetaraan semakin melebar dan menyebar.*

Kekayaan berkumpul di ibukota keuangan seperti New York dan London. Sejak tahun 2008, dunia menyaksikan pertumbuhan upah yang lemah dan pertumbuhan kekayaan yang spektakuler untuk orang kaya. Inggris, sejak 2008 upah pekerja naik sebesar 13%, namun pasar saham naik sebesar 115%.

Cerita ini terjadi di berbagai negara. Dalam rentang singkat, populasi dunia miliarder hampir dua kali lipat menjadi lebih dari 1.800 Orang. Lebih dari 70 orang dari mereka tinggal di London - salah satu konsentrasi miliarder tertinggi di dunia - membuat London memiliki kondisi sempurna untuk meledaknya perjuangan kelas (Baca: FORBES.COM).

Di Inggris, Suara untuk Brexit sebenarnya adalah suara untuk melawan London, melawan elitnya, melawan the way of life para elit yaitu perdagangan bebas dan integrasi ekonomi tanpa batas wilayah.

Prinsip-prinsip Globalisasi yang didengungkan sebelum krisis 2008, kini mencapai tahap yang mengkhawatiran dan era dimulainya deglobalisasi benar-benar akan terwujud manakala langkah-langkah pemerintah di berbagai wilayah dunia untuk mencari buffer ekonomi mengalami kegagalan bahkan memperdalam perlambatan ekonomi.

Tanda deglobalisasi semakin nyata, arus modal global turun dari puncaknya sebesar 16% GDP pada tahun 2007 menjadi 1,6% saat ini (Baca: World Bank Report 2015). Hal ini menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi terjadi. Arus modal global menurun meningkatkan rasa frustasi bagi sektor riil untuk berkembang.

*Gerakan anti-imigran terkonsolidasi begitu cepat adalah bukti terbaru. Gerakan tersebut datang pada saat yang tidak tepat*.

Di negara-negara maju, perempuan memiliki anak yang lebih sedikit dan fenomena tersebut sudah terjadi jauh sebelum krisis 2008. Negara menyikapinya dengan mengundang pekerja dari luar (imigran) untuk mempertahankan perkembangan ekonomi yang terus merosot karena depopulasi penduduk.

Jumlah tenaga kerja warga Inggris asli menurun, dan pekerja dari luar negeri diundang sehingga terhimpun sekitar 900.000 orang selama 2011-2016.

Meskipun terdapat tantangan asimilasi pekerja luar namun pilihan kebijakan tersebut tetap dipilih karena pekerja lebih sedikit berarti kurangnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara.

Patut diingat bahwa dalam dekade sebelum tahun 2008, ekonomi dunia berkembang dengan laju tercepat dalam sejarah, sebagian berkat gerakan kebebasan yang lebih besar untuk barang, modal dan orang.

Globalisasi telah berhasil mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan terutama pada dunia berkembang, namun pada negara maju menyebabkan compang-campingnya struktur sosial. Pekerja lokal marah terhadap ketimpangan ekonomi pekerja luar.

Brexit adalah salah satu manifestasi dari reaksi anti-globalisasi di tahun pasca-2008. Fenomena tersebut mungkin memperburuk perlambatan ekonomi global.

Pesan dari Brexit dan gerakan serupa seperti Frexit (France exit), Nexit (Netherland Exit), Czexit (Czech exit), Pexit (Poland Exit), Auexit (Austria Exit) adalah jelas yaitu pertumbuhan ekonomi harus dikesampingkan dahulu dan pemimpin politik harus bekerja mengatasi kemarahan masyarakat yang mempercayai bahwa globalisasi telah meninggalkan mereka jauh di belakang.

Sebuah tantangan bukan hanya untuk pemimpin negara maju tapi juga untuk Presiden Indonesia Pak Jokowi.

Masyarakat Ekonomi ASEAN harus belajar cepat dari Masyarakat Ekonomi Eropa. Isu tentang perlambatan ekonomi, ketimpangan sosial dan asimilasi imigran harus segera dicarikan resep jitu jika kita tidak mau seperti Brexit dan gerakan deglobalisasinya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com