Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Achmad Nur Hidayat
Pengamat

S2, Lee Kuan Yew School of Public Policy, Tenaga Ahli Senior Ekonomi Komite Ekonomi Nasional, Presiden SBY, dan Peneliti Komite Ekonomi Inovasi Nasional Presiden Jokowi. Pengamat Kebijakan Publik dan Geopolitcs  CIDES, 2010-Sekarang

Fenomena Brexit dan Konsekuensi Masa Depannya: Deglobalisasi?

Kompas.com - 05/08/2016, 21:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Reaksi masyarakat dunia menentang pasar terbuka tak terbendung. Namun era degloblisasi belum cukup kuat menemukan momentumnya.

Brexit sebagai hasil referendum warga Inggris untuk keluar dari Masyarakat Uni Eropa meningkatkan risiko penularan di berbagai negara di Eropa.

Banyak pihak yang menebak-nebak negara mana di Uni Eropa yang akan meninggalkan Uni Eropa berikutnya dan apakah fenomena tersebut dapat menghancurkan tatanan Eropa pascaperang Dunia kedua.

Sebulan kemudian, jelas bahwa Brexit bukan menjadi flash point dari degredasi tersebut namun Brexit adalah awal dari degradasinya Uni Eropa.

Brexit merupakan sebuah petunjuk awal dari sebuah manifestasi deglobalisasi secara global yang disebabkan dari kondisi ekonomi pasca krisis 2008.

Kondisi tersebut memiliki tanda-tanda hampir serupa yaitu pertumbuhan ekonomi melambat, peningkatan kesenjangan ekonomi dan ketidaksetujuan terhadap imigran pendatang serta ketidakpuasan terhadap pemimpin incumbent.

Sebenarnya kondisi tersebut sudah ditandai jauh hari sebelum krisis 2008. Para pemimpin politik di Inggris telah menyakinkan masyarakat untuk menyetujui kebijakan-kebijakannya. Masyarakat diyakinkan bahwa kebijakan tersebut akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial mereka. Namun yang terjadi adalah kehidupan itu menjadi lebih buruk.

Di seluruh dunia, gerakan pergolakan anti kemapanan telah berkecamuk sejak krisis. Pada 30 negara demokrasi di dunia, pemimpin incumbent telah memenangkan sedikitnya 1/3 dari pemilu nasional setiap tahun sejak 2008. Jumlah tersebut turun dibandingkan tahun-tahun sebelum 2008 dimana pemimpin incumbent memenangkan 2/3 dari pemilu nasional.

Dari 20 top negara maju dan berkembang, secara rerata pemimpin incumbent (yang sedang berkuasa) mendapatkan kekuasaannya kembali sebesar 54% pada sebelum 2008 dan bandingkan turun menjadi 37% setelah tahun 2008. (Sumber: Brookings Institute Annual Report 2015).

Kemarahan publik pada pemerintah yang sedang berkuasa sekarang dapat dilihat sebagai anugerah bagi kalangan populis sayap kanan seperti Donald Trump, Marine Le Pen, dan para pemimpin berkampanye Brexit. Hal ini, mau tidak mau dinilai sebagi perlawanan terhadap kemapanan, bukan perlawanan ideologi kiri atau kanan.

Politisi sayap kanan di Eropa dan Amerika Serikat terus melakukan strategi mengeksploitasi rasa frustrasi dari kelas pekerja dengan menyalahkan kesengsaraan mereka pada imigran pendatang sebagai mencuri pekerjaan.

Kondisi berbeda pada negara-negara di Asia atau Amerika Latin di mana para pemilih telah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah kiri dan mendukung kaum reformis seperti Mauricio Macri dari Argentina dan Pedro Pablo Kuczynski dari Peru, seorang mantan ekonom Bank Dunia, yang berjanji melakukan rekonsiliasi.

*Perjuangan anti kemapanan yang terjadi di dalam kotak-kotak suara tidak berlangsung lokal melainkan berlangsung global*.

Kemarahan  tersebut dapat ditelusuri dari pertumbuhan yang lambat secara global. Pertumbuhan global rerata sebesar 3,5% sejak perang dunia kedua kemudian bergerak menurun berada dilevel 2% sejak 2008 sampai sekarang. Sebuah level yang dirasakan sebagai resesi global (World Bank Report 2015).

Ini adalah pemulihan terlemah dari zaman pasca perang, dan Eropa adalah daerah terparah yang terkena dampaknya, setelah menderita bukan hanya satu tapi dua resesi sejak 2008. Hal demikian menjadi lahan subur bagi kemarahan rakyat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com