Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warisan Orang-orang Makassar bagi Suku Aborigin di Australia, dari "Rupiya" hingga "Prau"

Kompas.com - 25/07/2016, 16:39 WIB
Caroline Damanik

Penulis

GOVE, KOMPAS.com – Gayili Marika Yunupinu bolak-balik memandangi koin Rp 500 dan Rp 1.000 di tangannya. Raut mukanya mengguratkan keceriaan.

Pandangannya lalu terpaku pada sisi koin yang bertuliskan Rp 1.000 dengan gambar burung Garuda di atasnya. Sambil bergumam dalam bahasa Yolngu, dia lalu membaliknya dan kembali mengamati dengan seksama gambar angklung di sisi itu. Hal yang sama dilakukannya pada koin Rp 500.

Sesekali, empat koin yang ada di tangannya digesekkan satu sama lain. Gayili lalu mengucapkan terima kasih untuk yang kesekian kalinya.

Sebelumnya, di atas pasir putih di tepi pantai di samping rumahnya di Galupa, Semenanjung Gove, Northern Territory, Gayili mengungkapkan keinginannya kepada seorang teman untuk memiliki koin rupiah.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Gayili Marika Yunupinu, salah satu keturunan klan Gumatj, suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia.
"Bolehkah saya meminta koin rupiya? Saya ingin membuatnya menjadi seperti kalung yang akan saya berikan ke cucu saya. Jadi ketika saya sudah tidak ada nanti, mereka bisa ingat cerita bahwa saya pernah bertemu dengan orang Indonesia, tempat orang Makassar berasal," pintanya.

Sebagai keturunan suku Yolngu, penduduk Aborigin yang tinggal di Arnhem Land, Gayili masih menyimpan kenangan manis para pendahulunya tentang para pelaut dari Makassar yang rutin datang selama sekitar 1,5 abad ke Arnhem Land.

Para pelaut dari Nusantara itu datang untuk membeli teripang dan sebagai gantinya, mereka memberikan beras, tembakau dan alat-alat logam, seperti pisau, kapak, dan senapan.

Gayili masih ingat cerita kakeknya bagaimana orang Makassar menghormati suku Yolngu dan membawa pengaruh yang baik bagi kehidupan suku Yolngu.

***

Ya, suku Yolngu juga mengenal kata rupiya yang mirip dengan nama mata uang Indonesia, rupiah. Dalam bahasa Yolngu atau Yolngu-matha pun, rupiya berarti uang.

Penyerapan kata rupiya merupakan bentuk pengaruh kuat kedatangan para pelaut dari Makassar ke tanah Aborigin. Tak hanya membawa bahan makanan dan memperkenalkan benda logam, para pelaut dari Makassar itu juga memengaruhi bahasa suku Yolngu.

“Kurang lebih ada 200-300 kata dalam bahasa Yolngu yang dipengaruhi oleh bahasa para pelaut dari Makassar dan pengucapannya juga berubah ya,” ujar Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University saat ditemui di Clayton, akhir Mei 2016.

Paul mencontohkan Balanda dari kata Belanda yang pelafalannya juga berubah. Bagi pelaut dari Makassar waktu itu, Belanda adalah negara asal bangsa kulit putih yang sedang menjajah Nusantara. Bagi suku Yolngu, kata Balanda kemudian dipakai untuk merujuk kepada orang kulit putih secara umum.

Laporan berjudul “Austronesian Loanwords in Yolngu-Matha of Northeast Arnhem Land” yang ditulis oleh Alan Walker and  R David Zorc dari Australian National University (ANU) pada tahun 1981 mencantumkan berbagai kata yang dipengaruhi oleh para pelaut dari Makassar, antara lain jinapan yang berarti sama dengan kata senapan dalam bahasa Indonesia saat ini, jalatan yang sama artinya dengan kata selatan, jaran yang penggunaannya merujuk pada kuda, lipalipa yang sama dengan kosa kata bahasa Bugis yang berarti kano, hingga bandira dari kata bendera.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, menuturkan kisah kedatangan pelaut dari Makassar ke pantai utara Australia.
Menurut Paul, penyerapan bahasa ibu para pelaut Makassar itu terjadi karena hubungan dagang yang terbangun antara keduanya. Tentu saja untuk melanggengkan hubungan dagang mereka, kedua kelompok harus menyepakati bahasa komunikasi.

“Untuk membuat perdagangan lebih efisien, mereka perlu belajar salah satu bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar. Kemungkinan ada orang Yolngu yang dibawa ke Makassar untuk belajar bahasa, lalu ada pelaut yang juga mengambil istri di pantai utara Australia. Lalu ada cerita, orang Indonesia (pelaut dari Makassar) yang ditinggalkan di pantai utara. Mungkin mereka ingin dia belajar bahasa Yolngu. Saya kira komunikasi adalah salah satu faktor yang penting,” tuturnya.

Lalu, lanjutnya, jika merujuk pada kosa kata yang diserap, muncul kesimpulan bahwa para pelaut yang datang dari Makassar itu tidak semuanya adalah orang-orang dari Tanah Sulawesi, seperti Makassar, Bugis dan Bone. Diperkirakan, para awak kapal dari kapal pinisi Makassar ini berisi pula orang-orang dari Maluku, Nusa Tenggara, bahkan Jawa dan Melayu.

“Nakhodanya sering (orang) Bugis, tetapi awaknya campur dan menariknya, dari segi komunikasinya, bagaimana mungkin suku asli Australia jadi fasih dalam bahasa Melayu atau Bugis dan bahasa daerah Indonesia yang lain? Ada kemungkinan besar hanya sebagian yang fasih, salah satunya suku asli Australia yang diterima sebagai awak di prau Nusantara,” tambah Paul kemudian.

Richard Trudgen menambahkan, penyerapan bahasa oleh suku Yolngu dari pelaut asal Makassar juga terkait dengan sikap para pelaut yang

Makin jarang

Menurut Paul, studi linguistik Yolngu-matha tentang penyerapan kata-kata dari bahasa Nusantara baru dimulai pada sekitar tahun 1970-an, jauh setelah hubungan dagang antara pelaut dari Makassar serta suku Yolngu bubar.

Kisah mesra itu harus berakhir setelah Pemerintah Australia pada awal abad ke-19 mewajibkan setiap pelaut untuk memiliki izin dan membayar semacam pajak jika hendak memancing atau memanen teripang di kawasan Australia.

Sejak tahun 1906, tak ada lagi pinisi yang datang ke Arnhem Land dan kehidupan pun menjadi sulit bagi penduduk Yolngu. Perekonomian lesu, banyak orang Yolngu yang disebutkan tidak lagi memiliki gairah hidup.

Paul mengatakan, penggunaan beberapa kosa kata serapan pun lantas memudar, hanya berdasarkan ingatan dari masa lalu yang diceritakan oleh ayah dan kakek mereka turun –temurun serta kata-kata yang tersimpan dalam lukisan di gua, manikay atau serangkaian lagu yang berisi pengetahuan dari para leluhur mengenai bagaimana cara Suku Yolngu hidup, biasanya dinyanyikan pada saat upacara adat.

***

KOMPAS.com/Caroline Damanik Vicky Elborough, seorang bidan di Gove District Hospital, mmengikuti seminar Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS).
Vicky Elborough, seorang bidan di Gove District Hospital, lekat-lekat menatap layar putih di mana materi seminar Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), yang ditayangkan, siang itu.

Dia mengikuti pelatihan yang digelar Richard untuk warga kulit putih di Nhulunbuy, Semenanjung Gove, NT.

“Saya ikut ini untuk membantu saya dalam bekerja sebagai seseorang yang tinggal di tempat ini untuk memperdalam pemahaman saya mengenai apa yang mereka butuhkan. Kadang dalam bertugas, saya menemukan kendala dalam hal bahasa  dan kebiasaan penduduk asli,” tutur Vicky di sela acara seminar.

Richard lalu menjelaskan tentang apa yang membentuk budaya seseorang, antara lain orangtua, lingkungan tempat tinggal, budaya lainnya, cara berkomunikasi, bahasa, cara pandang terhadap lingkungan dan latar belakang sejarah.

Dia menekankan pentingnya kepada setiap orang yang tinggal dan bertugas di Nhulunbuy, khususnya yang bertugas di bidang pelayanan publik, untuk mengenal budaya dan bahasa penduduk asli. Dari pendampingan yang dilakukannya, Richard mencatat banyak penduduk Aborigin yang kurang menguasai bahasa Inggris.

Courtesy Australian Institute of Aboriginal and Torres Strait Islander Studies Perahu orang-orang Makassar yang digunakan untuk mencari teripang hingga ke Australia.

Salah satu kosa kata bahasa Yolngu yang diperkenalkannya adalah balanydja atau membeli sesuatu barang atau jasa. Kata ini, lanjut Richard, dipengaruhi oleh bahasa yang dipakai para pelaut Makassar. Dalam bahasa Indonesia, kata ini mirip lafal dan artinya dengan belanja.

Selain itu, ada kata prau yang berasal dari kata perahu, juga manik-manik yang dipakai untuk menyebut kalung. 

Penyerapan ratusan kata dalam bahasa Makassar merupakan salah satu warisan budaya dari interaksi orang-orang Makassar dengan Aborigin di masa lalu. Selain itu ada pula warisan lain berupa pengaruh dalam ritual upacara adat, seni, mitologi, hingga nyanyian.

Warisan orang-orang Makassar telah ikut memperkaya budaya Aborigin hingga kini. Hal ini semakin menjadi bukti kuat bahwa kedatangan orang-orang Makassar diterima dengan baik oleh Aborigin.

Datang dengan damai dan tak pernah mengklaim tanah jajahan, karena itu tak mengherankan jika orang-orang Makassar selalu dirindukan kedatangannya hingga kini oleh suku Aborigin. Orang Makassar datang dengan berbagi keuntungan dalam perdagangan, bukan mengambil hak secara paksa, seperti yang pernah dilakukan orang-orang Barat terhadap mereka.

 

KOMPAS.com/Caroline Damanik Benda-benda seni yang mencatat kenangan manis suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, terhadap para pelaut dan pedagang dari Makassar tersimpan di Buku-Larrngay Mukka atau Yirrkala Arts Center di Yirrkala.

(Tulisan ini merupkan bagian dari program "Jelajah Australia 2016". Kompas.com telah meliput ke berbagai pelosok Australia pada rentang 14 Mei - 15 Juni 2016 atas undangan ABC Australia Plus. Di luar tulisan ini, masih ada artikel menarik lainnya yang telah disiapkan terbit pada Juli hingga akhir Agustus 2016. Anda bisa mengikuti artikel lainnya di Topik Pilihan "Jelajah Australia 2016".)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com