Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rindu Mendalam Suku Aborigin kepada Pelaut dari Makassar

Kompas.com - 22/07/2016, 15:30 WIB
Caroline Damanik

Penulis

GOVE, KOMPAS.com – Kedua mata Gayili Marika Yunupinu berbinar-binar, tangannya terbuka lebar, dan seruan riang meluncur dari bibirnya ketika seorang teman perempuan bernama Dian menuturkan bahwa dirinya adalah orang Makassar.

“Benar Makassar?” tanyanya memastikan dalam bahasa Inggris yang fasih.

“Ya Makassar. Ayah saya orang Makassar,” sahut Dian.

“Ahhh… Yapa,” seru Gayili lalu memeluknya dengan erat.

Bagi suku Yolngu, penduduk Aborigin yang tinggal di Arnhem Land, Northern Territory, Australia, Yapa biasa dipakai untuk menyebut saudara perempuan. Saudara laki-laki biasa dipanggil dengan sebutan Wawa.

“Dulu nenek moyang kita bertemu di sini, sekarang kita yang bertemu di sini,” tuturnya sambil merangkul dan beberapa kali menepuk bahu Dian sepanjang berdiri di tepi pantai berpasir putih di belakang rumahnya.

Saat suaminya keluar dari rumah, perempuan dari klan Gumatj ini berteriak dengan nada ceria bahwa ada keturunan Makassar dalam rombongan yang datang hari itu. Sang suami mengangguk sambil melambaikan tangan, anak-anaknya segera menoleh dari kesibukan mereka masing-masing.

Puncaknya, ketika hendak pulang, Gayili memberi hadiah spesial untuk Dian. Gayili mengambil batu yang biasa dipakainya untuk melukis, menggerusnya di sebuah alas dari batu hingga muncul serbuk berwarna kuning kunyit.

Lalu ia mencampurnya dengan sedikit air hingga menyerupai pasta. Dia mengajak Dian mendekat lalu menyapukan pasta kuning pada jemarinya di sepanjang dahi Dian.

“Ini pertama kali saya melihat orang Makassar di sini. Ini memberikan gambaran yang selama ini saya dengar dari cerita tentang orang Makassar. Dan ketika melihat orang Makassar untuk pertama kalinya di sini, saya sangat gembira. Selamat datang ke tanah kami,” ungkapnya.

Pantai di Galupa, Semenanjung Gove, Northern Territory, menjadi saksi atas kegirangan Gayili bertemu dengan seseorang dari garis keturunan Makassar. Ikatan yang kuat dari masa lalu antara suku Aborigin dan pelaut dari Makassar, Sulawesi Selatan, menjadi warisan yang tak pernah alpa diceritakan turun-temurun.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Robyn Bulunu Mananggur, seorang artis Aborigin, bersama Dian (berbaju putih) dan Richard Ian Trudgen di acara Sunday Market di Nhulunbuy, Gove, Northern Territory, Australia.
Kegirangan serupa juga membuncah di sela acara Sunday Market di Nhulunbuy di Semenanjung Gove. Robyn Bulunu Mananggur bergumam gembira dan binar matanya memancarkan rasa bahagia ketika Dian memperkenalkan diri sebagai orang Makassar.

Tangannya terbuka lebar dan keduanya saling berpelukan. Pelukan usai, perempuan itu lalu menjabat tangan Dian selama sekitar 7 detik sambil menyambut Dian, lalu kembali berpelukan. Dia lalu menjelaskan bahwa kakek dan ayahnya menyebut orang Makassar sebagai Mangathara.

Yapa Dian, Mangathara telah membawa kebahagiaan ke Arnhem Land,” ungkap Robin yang berasal dari Yirrkala.

Cerita turun-temurun

Bagi Gayili dan Robin, pelaut dari Makassar seperti dongeng yang indah dari masa lalu. Mereka meninggalkan memori yang sangat manis di sanubari para orangtua suku Yolngu.

Menurut Gayili, kakeknya tak pernah alpa menceritakan hubungan baik yang pernah terjalin antara suku Yolngu dan pelaut dari Makassar. Kakeknya masih mengalami masa-masa akhir perdagangan dengan Mangathara tetapi juga kerap mendengar cerita tentang pelaut dari Makassar dari kakeknya.

“Di sini (Galupa), Mangathara berlabuh pertama kali. Mereka harus menyeberang untuk bekerja. Kakek saya mencari dan memanen teripang bersama, lalu berdagang dengan orang Makassar,” ungkap Gayili.

Baca pula: Kisah Mesra Pelaut Makassar dan Orang Aborigin pada Masa Lalu

Gayili mengaku masih ingat dengan jelas saat kakeknya bercerita bahwa para pelaut dari Makassar itu datang membawa pot besar. Ada yang diisi dengan beras, ada yang diisi dengan mutiara.

"Sebelumnya kami tidak tahu untuk apa itu. Pelaut Makassar lalu memberikan banyak barang kepada (orangtua) kami," tutur Gayili.

Gayili dan Robin adalah seniman Aborigin. Mereka melukis untuk hidup sehari-hari. Selain berkisah tentang tanaman dan hewan yang dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari, seperti bunga lili dan buaya, mereka juga kerap melukis kenangan terkait kedatangan orang Makassar.

“Ibu mengajari saya melukis karena melihat saya punya bakat,” ungkapnya.

Kedatangan orang Makassar atau Macassan dalam bahasa Inggris direkam dalam berbagai karya seni milik suku Yolngu, mulai dari lukisan, guci atau pot hingga rangkaian lagu untuk upacara adat yang disebut manikay.

Benda-benda seni yang mencatat kenangan manis penduduk suku Yolngu terhadap para pelaut dan pedagang dari Makassar itu pun tersimpan pula di Buku-Larrngay Mukka atau Yirrkala Arts Center di Yirrkala.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Timmy Djawa Burarrawanga dari klan Gumatj menunjukkan sejumlah motif di pot yang menggambarkan kenangan suku Yolngu, penduduk Aborigin di Arnhem Land, tentang para pelaut dari Makassar. Motif pot yang ada di Buku-Larrngay Mukka atau Yirrkala Arts Center di Yirrkala, Gove, Northern Territory, ini berupa pinisi atau prau (perahu), pedang, beras, kapala atau kepala Mangathara, pipa rokok dan lipa-lipa atau perahu kecil.
Di art center ini, tersimpan sejumlah pot dari tanah liat yang dibakar bergambar memori tentang para pelaut dari Makassar saat hubungan perdagangan kedua kelompok berjalan dengan baik.

Will Stubbs, Art Coordinator di Buku-Larrngay Mulka mengatakan bahwa koleksi pot yang ada di tempat itu menunjukkan pengetahuan bahwa pelaut Makassar datang ke Arnhem Land setiap musim hujan tiba pada akhir tahun.

“Pot biasa digunakan sebagai wadah untuk beras dan bahan makanan yang diperdagangkan dengan penduduk Yolngu,” kata Will.

Tim dari art center ini juga baru pulang dari Makassar untuk menelusuri sejumlah tempat dan museum yang menguatkan sejarah hubungan antara suku Yolngu dan Makassar, seperti Port Paotere, Fort Somba Oou dan Museum I La Galigo. Yirrkala Art Center dihadiahi pot dengan motif yang menunjukkan kaitan antara Aborigin dan Makassar.

Timmy Djawa Burarrawanga dari klan Gumatj lalu menunjukkan sejumlah motif di pot yang menggambarkan kenangan tentang para pelaut dari Makassar, seperti pinisi atau prau (perahu), pedang, beras, kapala atau kepala Mangathara, pipa rokok dan lipa-lipa atau perahu kecil.

Dihargai

Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, mengatakan bahwa hubungan perdagangan antara suku Yolngu dan pelaut dari Makassar berlangsung dengan baik.

Berdasarkan riwayat perjalanan Mangathara yang dicatat Belanda di Sulawesi serta lukisan orang Aborigin di dinding gua, hubungan ini berlangsung hampir 1,5 abad, yaitu sekitar akhir abad 17 hingga awal abad 19.

Pelaut dari Makassar datang untuk mencari teripang yang akan dijual kembali ke China. Perairan dangkal Arnhem Land merupakan tempat yang baik menemukan teripang. Mereka lalu melakukan barter dengan penduduk asli Australia itu.

“Awalnya memang teripang, tetapi bagi suku asli, kunjungannya (pelaut dari Makassar) tentu lebih penting dari perdagangan biasa. Beras (di nusantara) tidak terlalu mahal waktu itu, tidak dianggap penting, tetapi bagi suku asli, beras sangat penting sekali. Jadi untuk mereka, perdagangan dengan orang dari Indonesia jauh lebih penting karena (mereka butuh) beras, pisau, logam, tembakau,” ucapnya saat ditemui di Monash University.

Suku Yolngu sangat bergairah dengan kerja sama ini karena mereka mendapatkan beras dan mengenal logam untuk pertama kalinya.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Benda-benda seni berupa pot yang mencatat kenangan manis penduduk suku Yolngu terhadap para pelaut dan pedagang dari Makassar tersimpan di Buku-Larrngay Mukka atau Yirrkala Arts Center di Yirrkala. Motifnya beragam, mulai pinisi atau prau atau perahu hingga beras.
Sebelumnya, segala alat kerja suku Yolngu terbuat dari batu. Mereka juga diajari oleh pelaut dari Makassar untuk membuat lipa-lipa.

Tak hanya saling menguntungkan dari segi ekonomi, pertukaran budaya juga terjadi. Pengaruh terhadap bahasa membuat sejumlah kosa kata suku Yolngu mirip dengan kata dalam bahasa Indonesia, seperti rrothi yang berarti roti, Balanda dari kata Belanda merujuk kepada orang kulit putih, prau yang berasal dari kata perahu dan rupiah dari kata rupiah untuk merujuk pada uang di kehidupan suku Yolngu.

“Itu semacam sampan yang digunakan penduduk asli, tapi dulu itu tidak ada teknologi semacam itu. mereka belajar dari orang Indonesia, Jadi ini buktinya bahwa pengaruhnya cukup dalam karena biasanya agak sulit untuk belajar teknologi baru dengan mengunakan alat,” tutur Paul.

Richard Ian Trudgen, pendiri dan pimpinan Aboriginal Resource Development Services (ARDS), juga mengatakan bahwa pengenalan benda tajam berbahan logam dalam kehidupan penduduk Yolngu memberikan manfaat signifikan dalam kehidupan mereka.

Namun, lanjutnya, hubungan dagang yang baik dan langgeng sangat dipengaruhi oleh sikap para pelaut Makassar yang dinilai menghormati kebudayaan lokal penduduk asli Australia.

“Ketika Makassar datang dan pergi selama beberapa abad, mereka menghormati kekuasaan suku Yolngu, para pelaut Makassar hanya berada di sekitar pantai setelah berlabuh. Di tempat ini mereka menunggu para juragan Yolngu untuk bernegosiasi dalam hubungan dagang mereka. Hanya ada beberapa saja ketidaksepakatan yang kemudian menjadi perkelahian dalam hubungan dagang selama berabad-abad,” ucap penulis buku “Why Warriors Lie Down and Die” ini.

Sikap ini sukses mengambil hati masyarakat Yolngu hingga hubungan dagang terus berlangsung. Richard mencatat, pendekatan ini tidak dilakukan oleh bangsa Eropa ketika datang.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Pantai Wurrwurrwuy atau Macassans Beach di Garanhan, Arnherm Land, Northern Territory, Australia, dipercaya sebagai salah satu tempat di mana para pelaut Makassar kerap berlabuh dan berkemah dahulu untuk berdagang dengan suku asli Aborigin.
Semua kenangan manis itu hilang seketika karena pelaut dari Makassar tak pernah datang lagi di awal abad 19. Mereka tak pernah muncul lagi setelah pemerintah Australia mewajibkan setiap pelaut untuk memiliki izin dan membayar semacam pajak jika hendak memancing atau memanen teripang di kawasan Australia.

***

Duduk di sebuah kursi di atas pasir putih di tepi laut di belakang rumahnya, Gayili dengan berani mengungkapkan keinginannya untuk menerima sesuatu dari Dian. Dia berharap diberikan sejumlah koin.

"Bolehkah saya meminta koin rupiah? Saya ingin membuatnya menjadi seperti kalung yang akan saya berikan ke cucu saya. Jadi ketika saya sudah tidak ada nanti, mereka bisa ingat cerita bahwa saya pernah bertemu dengan orang Indonesia, tempat orang Makassar berasal," tutur Gayili.

Matanya kembali berbinar ketika menerima sejumlah koin Rp 1.000 dan Rp 500 lalu berkali-kali mengucapkan terima kasih.

Di Pantai Wurrwurrwuy atau Macassans Beach di Garanhan, salah satu tempat di mana para pelaut Makassar kerap berlabuh dan berkemah dahulu, Dianne Biritjalawuy Gondarra dari klan Golumala mengungkapkan kerinduannya pada hubungan baik yang pernah dijalin nenek moyangnya dengan para pelaut dari Makassar.

“Semuanya kolaps. Orang-orang tidak memiliki motivasi untuk hdup. Semuanya diambil dari mereka, penghidupan sehari-hari. Kami ingin memulai hubungan itu lagi, mulai berdagang dan bersahabat kembali seperti dahulu,” pinta Dianne diiringi suara debur ombak dari Laut Arafura di belakangnya.

(Tulisan ini merupkan bagian dari program "Jelajah Australia 2016". Kompas.com telah meliput ke berbagai pelosok Australia pada rentang 14 Mei - 15 Juni 2016 atas undangan ABC Australia Plus. Di luar tulisan ini, masih ada artikel menarik lainnya yang telah disiapkan terbit pada Juli hingga akhir Agustus 2016. Anda bisa mengikuti artikel lainnya di Topik Pilihan "Jelajah Australia 2016".)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com