LONDON, KOMPAS.com - Dunia politik, media, diplomasi, dan selebriti di seluruh dunia telah bereaksi begitu Perdana Menteri Inggris, Theresa May, mengangkat mantan wali kota London, Boris Johnson, sebagai Menteri Luar Negeri.
Sebagian media terkejut dengan munculnya Johnson sebagai Menlu Inggris.
Hal itu karena Johnson beberapa kali melakukan kesalahan besar, termasuk menghina Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan berkomentar soal nenek moyang Presiden AS Barack Obama.
Di Amerika Serikat, harian Washington Post menerbitkan sejumlah tingkah Johnson pada masa lalu yang tidak diplomatis.
Penulis Washington Post, Ishaan Tharoor, merujuk pada komentar Johnson yang “menyanjung Presiden Suriah Bashar al-Assad atas perannya dalam memerangi kelompok ISIS.”
Johnson menyanjung Assad terlepas dari aksi kekerasan yang lakukan Presiden Suriah itu terhadap penduduk sipil Suriah.
Namun, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Mark Toner, mengatakan, pihaknya akan terus bekerja sama dengan Inggris mengingat adanya ‘hubungan spesial’ antara kedua negara.
“Ini adalah hubungan yang melampaui kepribadian seseorang dan benar-benar masa penting dalam sejarah Inggris dan juga hubungan AS-Inggris,” kata Toner.
Sementara itu, di Perancis, media setempat tidak lupa akan sosok Johnson dan komentarnya pada masa lalu.
Surat kabar Le Figaro mengatakan ‘sang Legenda’ Johnson ‘memberi kesan bahwa dia dituntun oleh sikap oportunistik’.
Pasalnya, menurut catatan Le Figaro, Johnson beberapa kali mengubah sikapnya soal pernikahan sesama jenis dan bergabungnya Turki ke Uni Eropa.
Komentar satire
Ada pula media yang bernada satire, seperti majalah Jerman, Der Spiegel.
Media Jerman itu menerbitkan tajuk rencana berisi kritik terhadap langkah Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) dalam edisi berjudul ‘Mohon Jangan Pergi’.
Majalah tersebut menilai Johnson adalah “politsi kontroversial” yang karena sikapnya mendukung Brexit menyebabkan kubu ‘Pergi’ memenangi referendum dengan 51,9 persen.