Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramadhan di Sydney: Mulai "Lunch Box" hingga Coca Cola dari Manajer

Kompas.com - 28/06/2016, 14:51 WIB

SYDNEY, KOMPAS.com - Berpuasa di negeri seperti Australia banyak menimbulkan cerita unik, seperti dialami Nanis Setyorini yang ditanyai seorang guru ketika anaknya putranya tidak membawa bekal makan siang di saat Ramadhan.

Nanis Setyorini, yang sedang menyelesaikan pendidikan doktor di Universitas New South Wales, Sudah tinggal di Sydney sejak 2012, bersama suami dan tiga putra, yang seorang di antaranya lahir di Australia.

"Di tahun 2014, anak kedua saya Haarits (8) menjalani puasa pertama di Sydney," kata Nanis kepada ABC Australia Plus Indonesia.

"Karena saya pikir Haarits puasa, maka saya tidak membawakan dia bekal makan siang (lunch box). Di sekolah Haarits ditanya gurunya kenapa tidak bawa bekal," kenang Nanis.

"Karena baru beberapa bulan di Sydney, dia belum bisa menjelaskan dalam Bahasa Ingris, sehingga dia hanya bilang sedang puasa," tambah Nanis.

Beberapa menit setelah kejadian itu, lanjut Nanis, sang guru menelepon dia dan menanyakan hal yang sama.

"Akhirnya saya menjelaskan bahwa Haarits sedang puasa jadi tidak bawa lunch box. Tetapi suami, karena khawatir dianggap tidak memperhatikan anak, dia langsung ke sekolah mengirimkan lunch box," tambah Nanis.

Sejak kejadian tersebut, menurut Nanis, mereka tetap membawakan bekal makan siang, walau putra mereka Haarits berpuasa hingga Maghrib tiba.

"Ini untuk menghindari agar tidak ditelepon oleh sekolah. Juga di sekolah Haarits, ada beberapa teman muslim. Tetapi kebanyakan mereka tidak puasa," papar dia.

Nanis mengaku tidak mengalami masalah yang sama untuk putra tertuanya, Faalih (14) bersekolah di SMA Randwick Boys High School, Sydney.

"Di sekolah ini banyak siswa Muslim. Bahkan di sekolahnya ada shalat Jumat resmi yang diselenggarakan sekolah."

"Dengan itu, kami bersyukur kami orang tuanya tidak perlu lagi kerepotan soal shalat Jumat. Dulu awal datang pada 2013, Faalih harus masuk di English Intensive High School di Sydney CBD."

"Setiap Jumat siang, saya dan suami gantian jemput Faalih ke sekolahnya untuk mengantar ke mushala terdekat di Surry Hills, Sydney. Setelah sholat, saya atau suami mengantar lagi ke sekolahnya untuk lapor," ujar Nanis.

Situasi itu memang merepotkan tetapi Nanis dan suaminya tetap menjalankannya agar putranya memahami shalat Jumat itu tidak boleh ditinggalkan meski berada di negeri orang.

Nanis yang sebelumnya adalah dosen Bahasa Inggris di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya mendapatkan beasiswa dari Dikti Indonesia, selama tiga tahun.

Sehingga di sela-sela studi, Nanis harus juga bekerja sebagai morning cleaner di kampusnya, dari jam 03.00 hingga 07.00 waktu setempat.

Suaminya Denni Estiardi sebelumnya adalah Area Sales Manager PT Bintang Toedjoe Surabaya. Dan untuk membantu biaya hidup mereka di Australia, Denni bekerja menjadi supervisor day cleaner di Main Library, UNSW Sydney .

"Di Indonesia, suami saya orang kantoran yang sering nyuruh-nyuruh anak buah. Di Sydney dia terpaksa kerja fisik dan disuruh-suruh orang. Saat puasa, semakin terasa beratnya kerja fisik. Tetapi lama-lama jadi kebiasaan." kata Nanis.

"Manajer suami saya juga sama, awalnya menanyakan apakah tetap bisa kerja saat puasa. Dia selalu khawatir apakah suami saya kuat kerja atau tidak. Berkali-kali si manajer telepon atau mendatangi suami di saat kerja. Kadang kalau sore si manajer bawain coca cola untuk buka puasa katanya," tambah Nanis.

Menurut Nanis, lingkungan sekitarnya di Sydney semakin mengerti mengenai ritual puasa selama bulan Ramadhan bagi umat Islam.

Walau begitu, kadang juga ada teman yang bertanya bagaimana Nanis bisa bertahan selama seharian tidak makan dan minum.

"Saya jelaskan, saya sudah terbiasa puasa ini sejak kecil jadi sudah jadi hal biasa dan tetap bisa melakukan aktifitas macam-macam. Ada juga bule yang bilang tidak mungkin dia kuat puasa karena tidak kuat kalau tidak minum kopi." kata Nanis sambil tertawa.

Sama seperti keluarga asal Indonesia lainnya di Australia, keluarga Nanis juga sering kali merasa rindu dengan suasana Ramadhan di Indonesia.

"Saya dan suami suka rindu masakan almarhum ibu kami. Suami juga rindu tadarus di masjid dekat rumah. Faalih, anak pertama saya kadang rindu suara orang ronda keliling kampung membangunkan orang saat sahur dan kegiatan pondok Ramadan di sekolah," kata Nanis.

Lalu apa yang dilakukan di Australia untuk mengobati kerinduan tersebut?

"Dalam seminggu kami menelpon orang tua dua-tiga kali. Kadang video call jika ada adik sedang di rumah orang tua. Kalau rindu makanan, saya masak sesuai keinginan suami dan anak-anak," tambah Nanis.

Dan juga dengan banyaknya mahasiswa asal Indonesia yang melanjutkan pendidikan di Sydney juga membuat Nanis dan keluarganya tidak terlalu merasa kehilangan suasana Ramadhan.

"Setiap tahun kami rasakan sama saja menjalankan puasa di Sydney. Perbedaannya mungkin hanya pada teman-teman baru yang tiap tahun ada yang baru datang ada yang sudah pulang. Kami biasanya gantian menyelenggarakan buka puasa bersama." kata Nanis.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com