Memang tersedia air kemasan (gallon), tetapi harganya cukup mahal sehingga dia bersama teman-temannya harus selalu berhemat menggunakan air bersih untuk mengurangi pengeluaran.
Huda, guru lainnya, mengatakan, akibat kondisi sulitnya mendapat air, dia dan para pekerja di kebun sawit berinisiatif menampung air hujan.
Namun, mengingat alat penampungnya hanya berupa drum seadanya maka kebersihannya diragukan sehingga tak dipakai untuk konsumsi.
Seorang guru lainnya, Yunita Kurnia, ibu muda yang baru melahirkan, mengatakan, medan tugas yang berat sebenarnya tidak menjadi masalah karena dirinya dan teman-temannya telah mendapatkan informasi sebelum diberangkatan.
Hal yang menjadi perhatian adalah masa depan pekerjaannya. Sebab, sampai kini dia belum mengetahui instansi mana yang akan menerimanya setelah kontrak kerja berakhir di Sabah.
Karena sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai pekerjaan setelah tiba di Indonesia, Yunita telah melayangkan surat lamaran ke berbagai sekolah dan kantor swasta mencari lowongan kerja baru.
“Saya memang gembira selesai bertugas di Sabah dan pulang ke kampung, apalagi menjelang hari raya Idul Fitri ini,” kata Yunita.
Tak da kepastian
“Namun, sebulan terakhir ini saya sedih karena belum ada satupun lamaran pekerjaan saya yang ditanggapi”, kata Yunita dengan pandangan mata menerawang.
Kenyataan yang dialami Yunita dan teman-temannya merupakan situasi yang menghantui setiap guru atau pendidik non-pegawai negeri sipil (PNS).
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan