Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ericssen
Pemerhati Politik

Pemerhati Politik Amerika, Politik Indonesia, dan Politik Elektoral

Hillary Clinton dan Momen Bersejarah Terpecahnya “Plafon Kaca”

Kompas.com - 10/06/2016, 14:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Tidak terasa sudah 4 dekade lamanya seorang Hillary Clinton menghiasi wajah perpolitikan Amerika Serikat.

Bermula dari karirnya sebagai seorang pengacara, nama lulusan Universitas ternama Yale ini mulai semakin terdengar ketika menikahi Gubernur Negara Bagian Arkansas Bill Clinton.

Seiring terpilihnya sang suami menjadi presiden, Hillary menghabiskan dua periode di Gedung Putih dalam kapasitasnya sebagai Ibu Negara.

Terjun ke politik praktis di tahun 2001, dia terpilih dan menjabat Senator dari Negara Bagian New York selama 8 tahun hingga dipercaya sebagai Menteri Luar Negeri di kabinet Barack Obama.

Politisi wanita berusia 68 ini bisa dikatakan telah merasakan pahit getirnya politik. Badai demi badai politik tidak berhenti menerpanya mulai dari perselingkuhan memalukan suaminya di Gedung Putih, tuduhan berbohong dan kelalaian dalam penyerangan Kedubes Amerika Serikat (AS) di Benghazi, skandal penyalahgunaaan email pribadinya hingga identiknya dia sebagai sosok wanita yang haus kekuasaan politik.

Tentu saja salah satu momen paling menggetirkan hati Hillary dan pendukungnya adalah kekalahan mengejutkan 8 tahun silam di tangan senator muda kharismatik dari Illinois bernama Barack Obama.

Hillary yang ketika itu merupakan calon kuat penghuni Gedung Putih “terhempas kembali ke bumi” ketika dia harus melupakan ambisinya menjadi Presiden wanita pertama AS.

Tepat 8 tahun lalu, 7 Juni 2008, Hillary Clinton menyampaikan pidato kekalahannya yang selalu dikenang sebagai salah satu pidato terbaiknya. Kiasan yang selalu diingat dari pidato itu adalah penggunaan kata “plafon kaca” (glass ceiling).

Hillary menyampaikan memang dia belum mampu memecahkan “plafon kaca” yang sangat tinggi, kokoh, dan keras itu. Namun, dia menegaskan 18 juta warga AS yang memilihnya telah membantu meretakan sedikit dari permukaan “plafon kaca” itu.

Adapun “plafon kaca” yang dimaksud adalah menjadi wanita pertama yang memenangkan tiket calon presiden salah satu partai besar AS (Demokrat atau Republik).

Delapan tahun berselang, 7 Juni 2016, Hillary Clinton mengukir tinta sejarah dengan menjadi wanita pertama yang memenangkan nominasi capres AS.

Momen historis ini terjadi 97 tahun setelah Kongres AS mengesahkan Undang-Undang yang memberikan wanita hak untuk memberikan suaranya di pemilu.

“Tidak ada “plafon kaca’ yang terlalu tinggi untuk tidak dapat dipecahkan. Jangan ada yang mengatakan kepada anda bahwa tidak ada yang tidak mungkin di negara ini. Penghalang telah dipatahkan. Keadilan sosial dapat terwujud. Sejarah negara ini menunjukan kita telah bergerak di arah yang benar, perlahan tetapi pasti, terima kasih kepada seluruh generasi bangsa Amerika yang tidak pernah menyerah,” tutur wanita kelahiran Chicago ini dengan berapi-api.

Hillary juga secara emosional tidak lupa menyebut ibunya Dorothy, yang disebut sebagai sosok yang paling menginsipirasi perjalanan hidupnya. Dorothy tepat lahir di hari wanita AS diberi hak memberikan suara.

“Saya sangat berharap Ibu saya dapat hadir malam ini, melihat putrinya telah menjadi capres Partai Demokrat,” ucap Hillary penuh emosi yang mengharubirukan pendukungnya termasuk sang suami, Bill Clinton.

Merefleksikan momen historis ini, Hillary mengunggah sebuah foto di laman Facebooknya di mana dia sedang bersama dengan seorang anak perempuan.

“Untuk setiap anak perempuan yang punya mimpi besar, benar, kamu dapat menjadi apapun termasuk seorang presiden, malam ini adalah untuk anda,” tulis Hillary.

Ketangguhan dan ketegaran sosok Hillary memang layak diberi acungan jempol. Namun, pertempuran sesungguhnya yang paling berat baru saja akan dimulai.

Hillary tahu benar masih ada “plafon kaca” terakhir yang paling menantang untuk dipecahkan yaitu menjadi Presiden wanita pertama dalam 240 tahun sejak negara adidaya ini berdiri.

Dia akan bertarung melawan presumptive nominee Partai Republik Donald Trump, pada pemilu 8 November mendatang.

Pertempuran ketat yang pastinya akan panjang, keras, dan akan diwarnai sejumlah perang bahasa yang penuh warna mengingat lawan yang dihadapi adalah seorang Trump yang telah memuntahkan sejumlah bahasa-bahasa yang telah mengejutkan ranah politik negeri Paman Sam.

Terlepas dari apapun hasil 8 November kelak, yang pasti sejarah akan mengingat Hillary Clinton sebagai pemecah pertama dari “plafon kaca” yang sebelumnya tidak terjangkau sama sekali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com