KOMPAS.com - Bahaya sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari pendakian di puncak tertinggi dunia, Gunung Everest.
Sejarah mencatat, longsoran di lokasi itu telah menewaskan 35 pendaki dalam dua tahun terakhir. Angka itu termasuk 16 kematian dalam satu hari yang terjadi di tahun 2014.
Selanjutnya, sejak tahun 1900, seridaknya ada satu pendaki yang tewas setiap tahunnya.
Dan sekarang, di tahun 2016, Everest telah menelan korban pertamanya.
Sejak Kamis lalu, ada empat orang yang tewas di puncak dengan ketinggian 8.848 meter itu, termasuk seorang sherpa.
Sherpa adalah sebutan untuk pekerjaan warga kaki pegunungan himalaya, Nepal. Tugas mereka adalah sebagai pengangkat beban bagi para pendaki.
Saat ini, tim penyelamat masih mengupayakan penyelamatan terhadap dua pendaki yang dilaporkan hilang.
"Gunung Everest adalah lokasi yang ekstrem," kata Jon Kedrowski.
Jon Kedrowsk adalah ahli geografi yang juga pendaki. Dia telah mencapai puncak Everest pada tahun 2012, ketika ada 10 orang yang tewas.
"Dalam ketinggian, tubuh pendaki dapat memburuk di tingkat tertentu," kata dia.
Kematian terakhir datang begitu cepat, seolah menular dari satu pendaki kepada pendaki lainnya.
Musim pendakian
Bulan April dan Mei adalah waktu di mana paling banyak pendaki yang mencoba mencapai puncak Everest. Di bulan-bulan itu, diketahui minim angin.
Namun demikian, kondisi cuaca bisa berubah menjadi brutal seketika. Suhu udara pun berada di level ekstrim dari -35 hingga -20 derajat celcius.
Lebih dari 200 pendaki tewas di tempat itu, setelah Tenzing Norgay dan Edmund Hillary membuat pendakian pertama mereka di tahun 1953.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanDapatkan informasi dan insight pilihan redaksi Kompas.com
Daftarkan EmailPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.