Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Khadija Tetap Perjuangkan Hak Jurnalis dari Balik Jeruji

Kompas.com - 06/05/2016, 12:10 WIB

HELSINKI, KOMPAS.com - Dalam suratnya yang dibacakan pada penerimaan penghargaan kebebasan pers Guillarmo Cano, wartawan investigasi asal Azerbaijan, Khadija Ismayilova, mengajak semua orang mendedikasikan diri bagi perjuangan membela kebebasan pers dan keadilan.

Khadija diwakili Ibunya dalam menerima hadiah dari UNESCO tersebut dalam rangka Hari Kebebasan Pers Dunia (WPFD) di Helsinki (03/05/2016) lantaran ia masih dipenjara.

"Kejahatanku? Jurnalisme investigasi," kata Khadija melalui suratnya, menjelaskan ia dipenjara karena membongkar kasus korupsi terkait Presiden Ilham Aliyev dan keluarganya.

Pada 2015, pengadilan menghukumnya tujuh setengah tahun penjara, walaupun banyak pihak meragukan saksi dan bukti yang dihadirkan.

Namun, bagi Khadija dipenjara tidak berarti pemerintah berhasil membungkamnya. "Saya tetap hidup untuk memperjuangkan keadilan, tak seperti rekan kerja sekaligus teman baikku Elma," katanya.

Elmar Huseynov, editor majalah hak asasi manusia "The Monitor" ditembak mati di depan rumahnya pada 2 Maret 2005. Istri dan anaknya ada di dalam ketika ia ditembak.   

Elmar bukan wartawan pertama maupun terakhir yang dibunuh karena beritanya tidak disukai pihak tertentu. Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ) mencatat secara global 1.189 jurnalis dibunuh sejak 1992. Sepuluh di antaranya adalah wartawan Indonesia.

Menurut Khadija, kemanusiaan menderita ketika jurnalis dibungkam. "Derajat kita diturunkan dan kemanusiaan kita dilanggar oleh serangan pada hak mendasar kita, oleh ketidaksukaan pada keadilan, oleh kecaman atas keadilan, dan penyangkalan kebenaran."

"Berjuanglah demi kebenaran, dan beranilah bertanya dan berpikir kritis. Perangi korupsi dan tuntut integritas serta pemerintahan berbasis hukum," tutur Khadija.

"Jangan takut. Pengorbananmu tak sia-sia. Berjuanglah bersamaku demi kebebasan, dan demi kebenaran," lanjut Khaadija.

Selain pembunuhan, hak asasi manusia terkait kebebasan pers dan ekspresi yang berkali-kali dilanggar di Indonesia adalah hak berkumpul dan berserikat.

Kasus pembubaran pemutaran film "Pulau Buru Tanah Air Beta" dalam rangka merayakan Hari Pers Dunia di Yogyakarta (03/05/2016), misalnya, adalah pelanggaran hak keberagaman pendapat.

Di negara lain, kebebasan berekspresi diterapkan tanpa mengharuskan semua orang memiliki pendapat yang sama.

Sekretaris Umum Para Menteri Dewan Nordik (Nordic Council of Ministers), Dagfinn Høybråten, menyatakan, "Saya tak (harus) setuju apa yang kamu katakan tapi saya akan membela mati-matian hakmu untuk mengatakannya."

Kasus lain adalah pencegahan dibentuknya serikat pekerja (union busting), seperti yang dilakukan Luviana, wartawan Metro TV yang telah bekerja di media milik Surya Paloh tersebut selama 10 tahun.  Namun, pada akhirnya, perusahaan dengan mudah melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Padahal, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 menjamin, "Setiap pekerja memiliki hak untuk membentuk dan menjadi anggota sebuah serikat buruh."

(Jennifer Sidharta, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, melaporkan dari Helsinki untuk Kompas.com)


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com