Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Curhat Wartawan Lintas Benua tentang Ancaman Kebebasan Pers

Kompas.com - 03/05/2016, 21:44 WIB

Anda tak perlu menceritakan semua rahasia karena Anda harus membantu polisi dengan merahasiakan sejumlah informasi agar polisi bisa melakukan investigasi dan aktivitas mereka.

Wartawan biasanya cukup cerdas untuk tahu apa yang harus diberitakan dan apa yang harus disimpan supaya polisi bisa melakukan investigasi. "Soalnya ini sangat sensitif di negara saya," kata Azer.

Jadi, jurnalis harus peka akan apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak boleh diberitakan, tapi secara keseluruhan kebebasan berekspresi ada setelah revolusi terjadi. "Ini hanya soal sensitivitas," kata Azer.

4. Hilkka Kotkamaa, Finlandia (Eropa)

Ari Siliämaa/WPFD Youth Newsroom Hilkka Kotkamaa, jurnalis Finlandia
"Waktu saya bekerja untuk perusahaan media, mereka menentukan apa yang harus saya lakukan. Walau kebanyakan berita yang saya liput adalah cerita biasa, bukan berita," kata Hilkka.

Biasanya, dia menikmati kebebasan pers, khususnya karena liputannya biasanya tentang budaya dan literatur, tapi ketika dia membuat berita serius, perusahaan tempatnya bekerja bisa mengaturnya. Namun, tak ada tekanan dari pemerintah.

"Kadang saya kesal karena artikel saya terlalu panjang dan mereka memotongnya untuk membuatnya lebih pendek, tetapi mereka tidak melakukannya demi alasan politis," kata Hilkka.

5. Bekti Nugroho, Indonesia

Ari Siliämaa/WPFD Youth Newsroom Bekti Nugroho, jurnalis Indonesia
Pada 1994, majalah mingguan "Editor", tempat kerja Bekti, beserta sejumlah media lainnya menulis tentang kapal perang bekas Jerman yang diimpor Presiden Habibie.

"Habibie, presiden Indonesia waktu itu, tidak suka berita itu," kata Nugroho. Majalah Editor dibredel, dan tutup selamanya.

Namun, sejak Indonesia memiliki Undang-Undang Pers, media menikmati kebebasan berbicara.

Di sisi lain, ada hukum yang menyatakan wartawan bisa dipenjara, walau Dewan Pers telah menandatangani nota kesepahaman dengan kepolisian untuk melindungi kebebasan pers.

"Jika seseorang ingin mengajukan kasus yang berhubungan dengan pers ke polisi, polisi harus bertanya dahulu ke Dewan Pers untuk evaluasi apakah itu kasus pers atau kasus pidana," katanya.

Pelanggaran kebebasan pers kini datang pula dari para pemilik media, yang sebagian besar merupakan politisi sekaligus pebisnis.

"(Pembatasan kebebasan pers) sekarang datang dari dalam. Yang pertama adalah dari para pemilik karena banyak pemilik media terlibat partai politik," kata Bekti.

Ancaman lain datang dari sisi ekonomi, menurut lelaki yang sempat menjadi bagian dari Dewan Pers ini, karena industri media lebih mementingkan keuntungan finansial daripada idealisme.

(Jennifer Sidharta, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, melaporkan dari Helsinki untuk Kompas.com)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com