Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pilu Shandra Woworuntu, WNI Korban Perbudakan Seks di Amerika

Kompas.com - 03/04/2016, 10:42 WIB

NEW YORK, KOMPAS.com — Saat Shandra Woworuntu menginjakkan kakinya di Amerika Serikat (AS), ia berharap bisa memulai karier baru di industri perhotelan.

Namun, ia justru dijerumuskan ke dunia prostitusi dan perbudakan seks, dipaksa mengonsumsi obat-obatan, dan mengalami kekerasan.

Setelah berhasil kabur, polisi mengabaikan laporannya. Konsulat RI juga menolak memberinya bantuan hingga ia jadi gelandangan. Kisah ini mungkin akan tak tertahankan bagi sebagian pembaca.

 

                                      ***

Saya tiba di AS pada minggu pertama Juni 2001. Bagi saya, Amerika adalah sebuah tempat yang menjanjikan dan memberikan peluang.

Saat saya melangkah menuju imigrasi, saya merasa senang berada di sebuah negara baru, meskipun secara ganjil terasa akrab juga karena sudah mendapat gambaran dari yang dilihat di televisi dan film-film.

Di bagian kedatangan, saya mendengar nama saya dipanggil. Saya melihat seorang pria yang tengah memegang sebuah plakat dengan foto saya. Bukan soal foto yang saya pedulikan.

Agen penyalur kerja di Indonesia menyuruh saya mengenakan pakaian yang terbuka, tank top  atau kaus tanpa lengan. Orang yang memegang plakat itu tersenyum hangat. Namanya Johnny, dan saya menyangka ia akan mengantarkan saya ke hotel tempat saya akan bekerja nanti.

Pada kenyataannya, hotel itu berada di Chicago. Sementara itu, saya tiba di Bandara John F Kennedy (JFK) di New York yang jaraknya hampir 1.250 kilometer. Ini menunjukkan betapa naifnya saya.

Analis keuangan

Saya berumur 24 tahun kala itu dan tidak tahu dunia apa yang saya masuki ini. Usai lulus universitas di bidang keuangan, saya bekerja pada sebuah bank internasional di Indonesia sebagai seorang analis keuangan dan perdagangan.

Pada tahun 1998, Indonesia dilanda krisis keuangan yang menerjang Asia, dan tahun berikutnya Indonesia jatuh ke dalam kekacauan politik. Lalu, saya pun kehilangan pekerjaan.

Saya mulai mencari pekerjaan di luar negeri untuk menghidupi putri saya yang berusia tiga tahun. Waktu itu, saya melihat sebuah iklan di sebuah surat kabar yang mencari peminat untuk bekerja di industri perhotelan di hotel-hotel besar di AS, Jepang, Hongkong, dan Singapura.

Saya memilih tujuan AS, dan melamar. Persyaratan yang harus saya penuhi adalah bisa berbicara sedikit bahasa Inggris dan membayar biaya sebesar Rp 30 juta (tahun 2001). Proses perekrutan begitu panjang dengan banyak wawancara.

Sebagai persyaratan lain, mereka juga meminta saya untuk menunjukkan cara berjalan, naik turun tangga, dan tersenyum.

"Layanan pelanggan adalah kunci untuk pekerjaan ini," demikian yang diberitahukan kepada saya saat itu.

Saya menjalani semua tes dan lulus, lalu saya mengambil pekerjaan itu.

Rencananya, ibu dan kakak saya yang akan merawat gadis kecil saya saat saya bekerja di luar negeri selama enam bulan, dengan penghasilan 5.000 dollar AS per bulan (atau sekitar Rp 66 juta). Setelahnya, saya akan pulang untuk membesarkan putri saya.

Segalanya mulai aneh

Saya tiba di Bandara JFK di New York bersama empat perempuan lainnya dan seorang pria, lalu kami dibagi menjadi dua kelompok. Johnny mengambil semua dokumen saya, termasuk paspor saya, lalu ia membawa saya dan dua wanita lainnya masuk ke dalam mobilnya.

Itu adalah saat ketika segalanya mulai tampak aneh.

Sopir menempuh jalan pintas ke Flushing di Queens sebelum kemudian mengarah ke sebuah tempat parkir dan menghentikan kendaraannya. Johnny mengatakan kepada kami bertiga untuk keluar dan masuk ke mobil lain dengan sopir yang berbeda pula.

Kami melakukan apa yang diperintahkan. Melalui jendela mobil, saya melihat Johnny memberi uang kepada sopir yang baru. Saya pikir, "Ada yang tidak beres di sini." 

Namun, saya kembali berkata kepada diri sendiri untuk tidak khawatir bahwa memang seperti itulah mestinya cara jaringan hotel berbisnis dengan perusahaan yang mereka gunakan untuk menjemput orang dari bandara.

Sopir baru pun tidak membawa kami terlalu jauh. Ia malah memarkir kendaraan di halaman sebuah restoran. Lagi-lagi, kami harus keluar dari mobil dan pindah ke mobil lain, setelah memberi uang kepada sopir lain.

Kemudian, sopir ketiga membawa kami ke sebuah rumah, dan kami diserah-terimakan lagi.

Sopir keempat ini membawa pistol. Ia memaksa kami untuk masuk ke dalam mobil dan membawa kami ke sebuah rumah di Brooklyn, lalu ia mengetuk pintu, memanggil "Mama-san! Gadis baru!"

Pada saat itu saya langsung panik karena saya tahu 'Mama-san' berarti mami-mami germo rumah bordil. Namun, kami tidak bisa apa-apa karena ditodong pistol.

Pintu terbuka dan saya melihat seorang gadis kecil, mungkin usia 12 tahun atau 13 tahun, tergeletak di lantai.

Ia berteriak saat sekelompok pria menendangnya bergantian. Darah terlihat mengalir dari hidungnya. Ia melolong, dan menjerit kesakitan. Salah satu pria tersenyum dan mulai memainkan tongkat bisbol di depan saya, seolah-olah itu adalah peringatan.

Sangat ketakutan

Hanya beberapa jam setelah kedatangan saya di AS, saya dipaksa untuk melakukan hubungan seksual.

Saya sangat ketakutan, tetapi sesuatu tebersit di pikiran saya, semacam naluri untuk bertahan hidup. Saya mempelajarinya saat menyaksikan tindak kekerasan pertama.

Keesokan harinya, Johnny muncul dan meminta maaf panjang lebar atas segala yang telah terjadi pada kami setelah berpisah. Ia mengatakan, pasti ada kekeliruan.

Hari itu, kami akan difoto untuk kartu identitas. Kami akan dijemput untuk membeli seragam dan kemudian kami akan pergi ke hotel di Chicago untuk mulai bekerja.

"Kita akan baik-baik saja," katanya, sambil mengusap punggung saya. "Hal ini tidak akan terjadi lagi." Saya percaya kepadanya.

Setelah hal-hal buruk yang baru saja saya alami, ia seperti malaikat bagi saya. "Oke," kata saya. "Mimpi buruk sudah berakhir. Sekarang saya akan pergi ke Chicago untuk memulai pekerjaan saya."

Seorang pria datang dan membawa kami ke sebuah studio foto, untuk difoto, kemudian ia mengantar kami ke sebuah toko untuk membeli seragam. Namun, ternyata, itu adalah sebuah toko lingerie, yang dipenuhi pakaian-pakaian seksi yang terlihat minim, berenda, sesuatu yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Pakaian-pakaian yang bukanlah "seragam".

Lucu juga mengingat kembali kejadian itu. Saya tahu saya sedang dibohongi dan situasi saya penuh bahaya. Saya ingat saat melihat sekeliling toko itu, bertanya-tanya jika saya bisa menyelinap pergi, menghilang.

Namun, saya takut dan saya tidak kenal siapa pun di AS. Saya pun enggan untuk meninggalkan dua perempuan Indonesia lainnya. Saya kembali dan melihat mereka cukup menikmati kesempatan berbelanja itu.

Lalu, saya menoleh kepada pengawal saya. Ia menyembunyikan senjatanya dan tengah memperhatikan saya. Gerakan tubuhnya mengisyaratkan kepada saya untuk tidak coba-coba melakukan sesuatu.

Pada hari itu, kelompok kami berpisah dan hanya sesekali saya melihat dua perempuan itu lagi. Saya dibawa pergi dengan mobil, bukan ke Chicago, melainkan ke sebuah tempat para sindikat penjualan orang yang memaksa saya untuk melakukan kegiatan seksual.

Pakai lencana polisi

Para penyelundup manusia itu berasal dari Indonesia, Taiwan, Malaysia, China, dan Amerika. Hanya dua dari mereka yang bisa berbicara bahasa Inggris. Sebagian besar mereka hanya akan menggunakan bahasa tubuh, mendorong-dorong, dan menggunakan kata-kata kasar.

Satu hal yang paling membuat saya bingung dan ketakutan malam itu, dan terus membebani saya pada minggu-minggu berikutnya, adalah bahwa salah satu dari mereka memiliki lencana polisi. Sampai hari ini, saya tidak tahu apakah ia benar-benar seorang polisi.

Mereka bilang saya berutang kepada mereka sebesar 30.000 dollar AS (sekitar Rp 400 juta dengan kurs sekarang). Saya harus mengangsur utang senilai 100 dollar setiap kali melayani seorang pria.

Selama berminggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, saya dibawa pergi pulang ke rumah bordil yang berbeda-beda, apartemen-apartemen, hotel-hotel, dan kasino-kasino di Pantai Timur.

Saya jarang berada di tempat yang sama dalam dua hari, dan saya tidak pernah tahu di mana saya berada atau ke mana saya pergi.

Rumah-rumah bordil ini tampak seperti rumah-rumah biasa dari luar, dan ada diskotek di dalamnya dengan lampu kelap-kelip dan musik ingar-bingar. Kokain, sabu, dan ganja diletakkan di atas meja.

Narkoba dan senjata

Para bandit itu menyuruh saya mengonsumsi narkoba di bawah todongan senjata, dan mungkin itu yang bisa membuat saya bisa mengatasi paksaan seksual itu.

Siang dan malam, saya hanya minum bir dan wiski karena hanya minuman itu yang ditawarkan. Saya tidak tahu waktu itu bahwa di Amerika kita bisa minum air keran.

Selama dua puluh empat jam dalam sehari, kami gadis-gadis menghabiskan waktu dengan duduk-duduk, dalam keadaan benar-benar telanjang, menunggu para pelanggan.

Jika tidak ada yang datang, maka kami bisa tidur sebentar, meskipun tidak pernah di ranjang. Namun, masa-masa sepi pelanggan seperti ini juga merupakan saat yang digunakan para penyelundup manusia itu untuk memerkosa kami.

Jadi, kami harus tetap waspada. Tidak ada yang bisa ditebak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com